Granat yang dilontarkan itu, menurut Fauka Noor Farid adalah jenis amunisi yang melumpuhkan, dan efektif untuk membubarkan massa.
Dikutip dari arsenal-bg.com, diketahui peluru RLV- High Explosive Fragmentation Jump (HEFJ) yang dibeli Polri, adalah jenis peluru 'low velocity,' berdaya ledak tinggi, yang mampu melesat sejauh 400 meter dengan kecepatan 76 meter per detik.
Pemicu ledakan dari peluru tersebut, antara lain jarak, dan tubrukan dengan material tertentu.
Fauka noor Farid yang sempat puluhan tahun mengabdi di Kopassus TNI AD itu, menyebut di dunia militer, peluru kaliber 40 x 46 mm, digunakan untuk berbagai hal, mulai dari mengganggu konsentrasi musuh, memberikan tekanan psikologis, hingga membunuh musuh dalam jumlah banyak dalam sekali tembakan.
"Misalnya ada musuh sudah kita pantau, mereka lagi berkumpul. Lalu pendadakan dilakukan dengan menembakan granat ke mereka, dengan efek ledakan, konsentrasi mereka buyar, mereka lengah, dan langsung kita serbu," ujarnya.
"Selain itu fungsinya juga untuk membunuh dalam jumlah banyak, kalau ada musuh yang berkumpul, ditembakan ke arah mereka, korbannya pasti banyak," katanya.
Menurutnya, jika Polisi berpartisipasi dalam perang melawan musuh dengan jumlah besar, terlatih dan memiliki persenjataan yang mumpuni, seperti saat Polri bahu-membahu bersama TNI melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau ketika Polri ikut dalam pembebasan Irian Barat pada tahun 1963, maka sah-sah saja peluru sebesar itu dimiliki.
"Tapi kan ancaman sekarang tidak seperti itu. Teroris sekalipun, sekarang kan jumlahnya kecil, dan tidak memiliki persenjataan berat, jadi menurut saya, tidak tepat Polri membeli peluru jenis itu," ujarnya.