TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gagasan pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang menjadi unit kepolisian hingga kini belum jelas mengenai struktur ataupun bentuknya.
Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Umar Husin mengatakan jangan sampai pembentukan Densus tersebut untuk menyasar lurah-lurah yang menangani dasa desa.
"Yang dikhawatirkan banyak orang kan kemudian polisi menyisir lurah-lurah yang menerima dana desa. Itu kan makin kacau. Kita sangat yakin lurah tidak mampu buat laporan yang rumit yang distandardisasi Pemerintah," kata Anwar saat diskusi bertajuk 'Perlukah Densus Tipikor?' di Menteng, Jakarta, Sabtu (21/10/2017).
Umar mengkritik karena hingga kini belum ada kejelasan mengenai ruang lingkup Densus Tipikor.
Apalagi Indonesia sudah memiliki lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang diperlengkapi undang-undang sendiri dalam kerja pemberantasan korupsi.
Alangkah baiknya jika Densus menggarap mengenai kasus yang selama ini belum mendapat perhatian.
Baca: Kegiatan Pemprov DKI Bikin Puncak Macet 10 KM, Tidak Koordinasi Polisi Bogor
Misalnya saja Densus Tipikor fokus pada kejatahan korupsi yang bersinggungan dengan luar negeri. Kemudian dalam praktiknya, Densus Tipikor dengan KPK bisa saling bekerja sama saat KPK sungkan masuk atau saat Densus memerlukan bantuan KPK.
"Tapi kalau korupsi lurah dan kepala desa, nggak usah lah (bentuk Densus Tipikor). Kapolsek juga bisa itu," kata dia.
Sekadar informasi, Polri sedang membentuk Densus Tipikor. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan institusi baru itu akan memerlukan anggaran sekitar Rp 2,6 triliun.
Anggaran tersebut termasuk untuk belanja pegawai 3.560 personel sekitar Rp 786 miliar, belanja barang sekitar Rp 359 miliar dan belanja modal Rp 1,55 triliun.
Nantinya Densus Tipikor akan dipimpin seorang bintang dua dan akan dibentuk satgas tipikor kewilayahan. Satgas tipikor tersebut akan dibagi tiga tipe, yakni tipe A (enam satgas), tipe B (14 satgas) dan tipe C (13 satgas).