Laporan wartawan Tribunnews.com, Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjadi prajurit TNI, apalagi sebagai pasukan perdamaian United Nation (UN) atau PBB yang ditugaskan di negara asing yang tengah berkonflik memiliki tantangan tersendiri.
Tantangan-tanganan yang pernah mereka alami ketika bertugas di negara asing membuat mereka semakin bersyukur bahwa mereka sebagai Bangsa Indonesia.
Baca: Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua Berondong Mobil Patroli Dengan Tembakan, Satu Orang Terluka
Seperti yang dialami Kolonel (Inf) TNI Triadi Murwanto saat dirinya bertugas di Republik Demokratik Kongo pada tahun 2007-2008.
Berbagai persiapan ia lakukan, terutama hal yang mendasar, yaitu bagaimana kebutuhan jasmani untuk makan dapat terpenuhi.
Karena di negara asing, Kolonel Triadi mengatakan ada ketidakcocokan bahan makanan, khususnya bumbu masakan.
Sehingga, dirinya membawa berbagai bumbu dari Indonesia ketika berangkat dari Indonesia.
Baca: Anggota Brimob Baku Tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua, Dua Polisi Terluka
“Jadi dulu kita mempersiapkannya yang paling pertama, layaknya orang Indonesia lah, membawa bumbu-bumbu karena ternyata lebih sulit dari yang kita bayangkan,” ujar Triadi disela acara Conference On Indonesian Foreign Policy di The Kasablanka, Jakarta, Sabtu (21/10/2017).
Tidak hanya mencari bumbu saja, kesediaan bahan makanan seperti lauk pauk, misalnya daging sebagai sumber protein pun sulit didapat di Kongo pada waktu itu.
“Kita beli di masyarakat. Nah, kita tiap hari untuk seminggu itu mencari makanan lagi. Kambing kita potong sendiri, terus masak ada tukang masaknya tapi kita potong sendiri. Itu tiap hari. Jadi kita harus mampu menyediakan makanan kita sendiri, jadi cukup berat,” ucap Triadi.
Baca: Prabowo Subianto: Kondisi Bangsa Harus Kita Akui Lemah
Persoalan lain yang mereka hadapi juga masalah interaksi sosial yang berbeda dan bagi negara yang didalamnya tengah berkonfik, yaitu kuatnya sentimen ras.
"Kemudian juga menghadapi perbedaan kultur di sana antara kita dengan afrika dan sebagainya. Di antara orang Afrika (pada saat itu) friksi itu cukup tinggi. Untuk underestimate kepada seseorang, rasialis itu tampak sekali diantara orang (yang tengah berkonflik) ini. Tidak seperti orang Indonesia dan Asia Tenggara, friksi itu tidak terlalu tinggi, biasa saja,” kata Triadi.
Baca: Ketika Zulkifli Hasan Singgung Polemik Kata ‘Pribumi’ Di hadapan Prabowo
Hal senada diceritakan Letnan Kolonel (Inf) TNI Singgih PA yang bertugas di negara lain, yaitu di Darfur, Sudan.
Sebelum berangkat ke Sudan, Singgih telah mempersiapkan berbagai hal.
Selain mempelajari informasi intelijen, cara bersosialisasi di sana pun menjadi bahan yang perlu diingat.
“Semua penugasan TNI selalu mendapatkan informasi dari intelijen. Bagaimana kondisi geografis, demografis masyarakatnya, dan kondisi sosial disana. Dan di sana kita menyiapkan. Dan kita dilengkapi itu,” ucap Singgih.
Menurut Singgih, culture shock ketika menetap di suatu negara asing adalah hal biasa. Meski secara perlahan harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya yang ada.
Baca: Projo Siap Bela Kemenhumkam Hadapi Gugatan HTI
“Mungkin kalau di sana, di Sudan itu tak salaman tapi pegang bahu,” kata Singgih menjelaskan salah satu interaksi dengan warga lokal di sana.
Hal lain yang membuat Singgih bersyukur sebagai bangsa Indonesia ketika berada di wilayah konflik bahwa di tengah keberagaman, ada rasa saling menghormati dan menghargai.
“Saya pernah melaksanakan patroli verifikasi, ada kontak senjata yang suku petani yang black african dengan kelompok nomaden. Yang satu sisi meninggal 9 satu 11. Setelah kita verifikasi karena ternak yang gembala ini memakan satu pohon petani. Karena menebang satu pohon, bisa nyawa melayang,” ucap Singgih.
Baca: Dua Perampok Pura-pura Jadi Tamu Lalu keluarkan Senjata Api dan Tembak Korbannya
Bagian yang membuat Singgih bersyukur berada di Indonesia tidak hanya keberagaman namun tetap harmonis saja, tetapi juga sumber daya alam atau tanah yang subur, yang bisa dinikmati banyak orang.
Ia bercerita bagaimana sulitnya air bersih di sana, sehingga saat patroli, terpaksa ia meminum air keruh ataupun meminta kepada masyarakat setempat meski airnya pun tidak bersih.
“Mohon maaf bagaimana masyarakat dsana. Padang pasir, jarang air, jadi kebersihan itu tidak terjaga. Tapi sedapat mungkin kita tak menunjukkan itu. Kita datang ke kepala suku dikasih air, yang air keruh, ya kita minum,” ucap Singgih.