TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasutri Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim telah tiga kali mangkir pemeriksaan di KPK.
Dari tiga kali panggilan, terakhir pada Senin (6/11/2017) keduanya yang kini menetap di Singapura tidak kooperatif dengan penyidik.
Padahal seharusnya mereka diperiksa dalam kasus dugaan suap penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
Sjamsul merupakan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang mendapat suntikan dana BLBI saat kritis melanda Indonesia pada 1997-1998.
Lantas langkah apa yang akan dipanggil oleh KPK untuk bisa memeriksa keduanya karena keterangan mereka dibutuhkan oleh penyidik?
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengaku masih akan mencari cara untuk bisa menghadirkan keduanya ke KPK.
"Ada problem memang dalam perkara ini karena dua saksi tersebut ada di Singapura. Sehingga ada aturan hukum yang berbeda dan batasan kewenangan KPK ketika tidak ada di wilayah Indonesia. Karena itu kita akan mencari jalan keluar yang sesuai mekanisme kerja sama internasional misalnya namun tidak terlalu lama agar penanganan perkara ini tidak tertunda-tunda nantinya," ungkap Febri, Rabu (8/11/2017).
Febri menambahkan banyak alternatif yang harus dipertimbangkan oleh penyidik termasuk dengan berkoordinasi dengan otoritas di Singapura.
"Banyak alternatif yang harus kami pertimbangkan. Apakah kordinasi lebih lanjut dengan otoritas di Singapura atau pencarian bukti yang lain karena prinsipnya saksi yang kami panggil berarti ada keterangan yang dibutuhkan dari mereka terkait perkara yang mereka sidik karena mereka berdua dipanggil sebagai saksi untuk tersangka SAT," tambah Febri.
Untuk diketahui setelah melakukan penyelidikan tahun 2014 dengan meminta keterangan dari banyak pihak, akhirnya tahun 2017 ini KPK menetapkan tersangka di kasus ini.
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengatakan penyidik telah meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan dan memiliki bukti permulaan yang cukup menetapkan tersangka pada mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syarifuddin Arsyad Temenggung (SAT).
Syarifuddin diduga telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara hingga Rp 4,58 triliun dengan penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim.
Atas perbuatannya, Syafruddin Arsyad Temanggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Terkait penetapan tersangkanya, Syafruddin sempat melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hasilnya KPK menang digugatan itu sehingga Syafruddin tetap menjadi tersangka dan penyidikan terus berlanjut.
Dalam melengkapi berkas Syafruddin, penyidik sudah banyak memeriksa saksi seperti mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro.
Kemudian mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto, mantan Kepala BPPN Ary Suta hingga pengusaha yang dekat dengan Sjamsul, yakni Artalyta Suryani alias Ayin.
Syafruddin sendiri sebagai tersangka sudah dua kali diperiksa penyidik KPK, namun hingga kini penyidik belum melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan.