News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi KTP Elektronik

Miryam Terbukti Bohong dan Terima Uang Korupsi KTP Elektronik

Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Senyum merekah menghiasi wajah anggota DPR RI, Miryam S Haryani, saat duduk di kursi pengunjung Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017) siang. TRIBUNNEWS.COM/GITA IRAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim menghukum anggota DPR RI Miryam S Haryani dengan lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan, dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017).

Politikus Partai Hanura itu dinilai terbukti memberikan keterangan palsu alias berbohong saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, pada 23 Maret 2017 lalu.

"Mengadili, menyatakan bahwa terdakwa Miryam S Haryani telah terbukti secara sah dam meyakinkan melakukan tindak pidana dengan secara sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara tindak pidana korupsi," ujar ketua majelis hakim, Franky Tambuwun, saat membacakan amar putusan.

Majelis menyatakan Miryam terbukti melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anggota DPR RI, Miryam S Haryani saat duduk di kursi pengunjung Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017) siang. TRIBUNNEWS.COM/GITA IRAWAN

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Miryam dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar saat bersaksi dalam sidang bersaksi dalam sidang perkara korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 23 Maret 2017 lalu.

Miryam dianggap dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).

Baca: Senyum Miryam Berubah Seketika Kala Hakim Memvonisnya 5 Tahun Penjara

Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.

Padahal, Miryam tidak mendapat tekanan dan ancaman saat diperiksa oleh tiga penyidik di kantor KPK pada tanggal 1, 7, dan 14 Desember 2016 serta 24 Januari 2017.

Ketiga penyidik yang dimaksud adalah Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan Irwan Susanto.

Pengakuan Miryam bahwa ditekan oleh penyidik KPK saat menjalani pemeriksaan berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan tiga penyidik saat dihadirkan di persidangan.

Sebab, menurut para penyidik, saat dilakukan pemeriksaan, Miryam diberikan kesempatan beristirahat dan makan siang. 

Selain itu, selama empat kali pemeriksaan, Miryam selali diberikan kesempatan membaca, memeriksa dan mengoreksi BAP sebelum ditandatangani.

Keyakinan hakim bahwa Miryam tidak mendapat ancaman atau tekanan dari penyidik juga diperkuat oleh laporan dan keterangan para ahli yang dihadirkan jaksa.

Kedua ahli yakni, Ahli psikologi forensik Reni Kusumowardhani dan ahli pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Noor Aziz Said.

Anggota DPR RI, Miryam S Haryani saat duduk di kursi pengunjung Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017) siang. TRIBUNNEWS.COM/GITA IRAWAN

Adapun, barang bukti berupa video pemeriksaan Miryam di Gedung KPK telah diperiksa oleh tim ahli psikologi forensik.

Pemeriksaan itu kemudian dibuat dalam laporan analisis.

Baca: Berwisata ke Malang Kurang Lengkap Jika Tak Mampir ke Kampung Warna-warni dan Kampung Tridi

"Sebagaimana ahli tidak menemukan adanya tekanan, karena banyak pertanyaan pendek penyidik, dijawab dengan panjang lebar oleh terdakwa. Ahli mengatakan, dapat disimpulkan tidak ditemukan adanya tekanan," kata Anwar.

Kemudian, hakim sependapat dengan keterangan ahli pidana Noor Aziz Said.

Menurut ahli, daya paksa berupa tekanan atau ancaman harus nyata dirasakan, bukan sekadar anggapan.

"Terdakwa mengatakan terisolir. Tapi, dapat keluar masuk ruangan. Laporan ahli psikologi forensik menyatakan tidak ada tekanan dan pemaksaan, sehingga pencabutan keterangan terdakwa tidak punya alasan hukum," jelas Anwar.

Menurut majelis, pernyataan Miryam berbanding terbalik dengan kesaksian tiga penyidik KPK yang dihadirkan saat persidangan Irman dan Sugiharto pada tangal 30 Maret 2017.

Ketika itu, Miryam dikonfrontasi dengan ketiganya.

"Keterangan terdakwa yang mengatakan ditekan dan diancam adalah keterangan yang tidak benar. Hal itu bertentangan dengan fakta, saksi dan alat bukti lain," ujar hakim Anwar.

Menurut majelis, Miryam juga terbukti menerima uang dalam kasus korupsi pengadaan paket KTP elektronik Kemendagri Tahun 2011-2012 dengan nilai proyek sebesar Rp 5,9 triliun.

Proyek tersebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Senyum merekah menghiasi wajah anggota DPR RI, Miryam S Haryani, saat duduk di kursi pengunjung Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/11/2017) siang. TRIBUNNEWS.COM/GITA IRAWAN (Tribunnews.com/Gita Irawan)

Majelis menganggap pengakuan Miryam yang dituangkan dalam BAP yang telah dicabut sebelumnya adalah keterangan yang sesungguhnya.

"Bantahan terdakwa tidak punya alasan hukum," kata hakim Anwar.

Diketahui, pencabutan tiga BAP Miryam S Haryani saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi KTP elektronik dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 23 Maret 2017 lalu, menjadi awal pihak DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket tentang dugaan pelanggaran lembaga KPK.

Menurut majelis, keterangan Miryam yang membantah menerima uang, berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan saksi-saksi di persidangan.

Di antaranya, keterangan dua terdakwa dalam kasus korupsi KTP elektronik, Irman dan Sugiharto.

Keterangan Miryam juga bertentangan dengan kesaksian mantan staf di Ditjen Dukcapil Kemendagri, Yosep Sumartono dan saksi Vidi Gunawan.

Menurut majelis, keempat saksi tersebut membenarkan bahwa Miryam empat kali menerima uang. Masing-masing 500 ribu dolar AS, 100 ribu dolar AS dan Rp 5 miliar.

Baca: Sensasi Jelajah Wisata Bromo Tengger Semeru National Park dengan Mobil Jeep

"Uang diantar oleh Sugiharto ke rumah terdakwa. Uang Rp 1 miliar diserahkan Yosep pada asisten terdakwa," kata Anwar.

Majelis juga menilai Miryam telah dengan sengaja tidak memberikan keterangan dan memberikan keterangan yang tidak benar saat bersaksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.

Miryam dianggap dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam BAP.
Padahal, dalam empat BAP itu Miryam telah mengakui menerima uang korupsi dan membagikannya kepada sejumlah anggota DPR.

Dalam amar putusan, majelis menyampaikan hal-hal yang memberatkan hukuman untuk Miryam.

Miryam dianggap tak membantu program pemerintah yang tengah gencar dalam berantas korupsi serta tak mengakui perbuatannya.

Hal yang meringankan, Miryam dinilai berperilaku sopan selama di persidangan dan belum pernah menjalani hukuman.

Hukuman lima tahun untuk Miryam yang juga Bendahara Umum Partai Hanura ini lebih rendah tiga tahun dari tuntutan tim JPU dari KPK.

Sebelumnya Miryam dituntut hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.‎

Atas vonis ini, Miryam menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atau tidak dalam tujuh hari ke depan.

Demikian pula dengan tim JPU dari KPK. (gta)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini