TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menggelar rapat untuk membahas kasus Ketua DPR Setya Novanto, yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rapat ini digelar selama sekitar tiga jam ini berlangsung penuh perdebatan.
"Memang dari jam 13.00 WIB-15.00 WIB tadi mengadakan rapat terjadi perdebatan yang cukup dinamis yang paling lama terkait dengan Ketua DPR," kata Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Adies Kadir kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/11/2017).
Baca: Ketua KPK Begadang Tunggu Hasil Jemput Paksa Setya Novanto
Menurutnya, hasil rapat tersebut, akhirnya disepakati sesuai dengan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD, mengatur mengenai ketentuan pemberhentian seorang pimpinan DPR.
Adies mengatakan, pihaknya masih menunggu aparat penegak hukum untuk menangani kasus yang membelit Novanto.
"Kami menunggu penanganan kasus aparat penegak hukum tersebut dan apa hasil dari itu yang akan ditindaklanjuti," katanya.
Untuk itu katanya, MKD masih menunggu proses hukum yang dilakukan KPK, untuk menetapkan soal status Setya Novanto di DPR.
"Jadi selama di sana dijelaskan kalau statusnya tersangka dan masih diproses, MKD belum bisa memproses itu," kata Adies.
Baca: DP Rumah 0 Rupiah Mencuat Saat Rapat Paripurna DPRD DKI, Ini Respon Anies
Sampai saat ini keberadaan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto tak diketahui di mana.
Bahkan semua nomor ponselnya tak bisa dihubungi baik oleh istri maupun kuasa hukumnya sejak kemarin malam.
Diketahui kemarin merupakan pemanggilan perdana Setya Novanto sebagai tersangka setelah KPK resmi menjeratnya kembali sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.
Sebelumnya, Setya Novanto sudah tiga kali menolak hadir sebagai saksi dalam kasus tersebut untuk tersangka Anang Sugiana.
Dalam perkara ini, Setya Novanto bersama dengan Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.