TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut ada tiga tantangan yang menyambut Airlangga Hartarto yang baru saja ditunjuk sebagai ketua umum menggantikan Setya Novanto.
Peneliti senior LSI Denny JA, Ardian Sopa menyebut tantangan yang pertama adalah elektabilitas Partai Golkar jelang tahun politik 2018 dan 2019 telah disalip Partai Gerindra.
Ardian menyebut merosotnya Partai Golkar di posisi tiga di bawah PDI Perjuangan dan Partai Gerindra baru terjadi pertama dalam sejarah.
“Berdasarkan survei kami Partai Golkar kini menduduki posisi ketiga dengan suara 11,6 persen berada di bawah PDI Perjuangan (24,2 persen), dan Partai Gerindra (13 persen). Kasus yang menjerat Setya Novanto jelas berpengaruh besar terhadap elektabilitas partai dan itu disadari oleh petinggi partai.”
Baca: Bachtiar Nasir Yakin Massa Aksi Bela Palestina 17 Desember Minimal 2 Juta Orang
“Tren penurunan dapat kita lihat dari Maret 2016 (12,2 persen), Oktober 2016 (15,6 persen), Mei 2017 (13,5 persen), Juni 2017 (12,7 persen), Agustus 2017 (11,6 persen), November 2017 (13,6 persen), dan Desember 2017 (11,6 persen),” ujar Ardian saat ditemui di Graha Dua Rajawali, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (14/12/2017).
Tantangan yang kedua dan ketiga adalah Partai Golkar tidak memiliki kader yang dikedepankan untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
“Berdasarkan survei kami dari lima kandidat terkuat capres tidak ada yang merupakan kader Golkar yaitu Joko Widodo (38,4 persen) adalah kader PDI Perjuangan, Prabowo Subianto (24,6 persen) adalah kader Partai Gerindra, sementara mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (7,5 persen), Anies Baswedan (4,9 persen), dan Agus Harimurti Yudhoyono (3,2 persen) juga bukan kader Partai Golkar,” tegas Ardian.
Namun menurut Ardian tiga tantangan itu juga menjadi kekuatan tersendiri bagi Partai Golkar.
Yang pertama adalah Partai Golkar bukan merupakan partai yang bertumpu pada sosok tertentu.
“Contohnya saat kasus menimpa Setya Novanto, Golkar masih tetap kuat walaupun sempat diselip Partai Gerindra. Sementara kita tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Partai Demokrat bila terjadi sesuatu pada Susilo Bambang Yudhoyono atau Partai Nasional Demokrat tanpa Surya Paloh.”
“Yang kedua adalah pengalaman Partai Golkar dalam menghadapi masalah elit utama diyakini membuat partai ini bisa segera bertransisi menghadapi pergantian ketum baru sekaligus menghadapi tahun politik. Seperti kita tahu berbagai konflik di masa lalu pernah menghantam Golkar sehingga membentuk partai-partai baru seperti Hanura, Nasional Demokrat hingga Gerindra,” kata Ardian.