TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah yang dihadapi petani saat ini sangat kompleks. Mulai dari kredit perbankan, isu ketenagakerjaan hinhha persaingan di tingkat global.
Apalagi menjelang tahun politik 2019.
Hal tersebut menguat dalam seminar "Outlook Pembangunan Pertanian 2018" yang diselenggarakan Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) bekerjasama dengan Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (PSA IPB) di Auditorium Toyyib Hadiwinata Kampus IPB Darmaga, Jumat (22/12/2017).
Dalam forum ini hadir sebagai pembicara Sunarso (Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia/ PISPI), Harry Priyono (Sekjen Kementerian Pertanian), Ahmad Erani Yustika (Dirjen Kementerian Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal), Arif Satria (Rektor IPB/ Ketua Dewan Pakar PISPI), Dedi Sani (pimpinan KPPU), Rina Mardiana (Kepala Pusat Studi Agraria IPB), Jamhari (Dekan Fakultas Pertanian UGM/ Sekjen Forum Dekan Pertanian Indonesia) dan Kamhar Lakumani (Ketua BPP PISPI/ Ketua Pelaksana Outlook Pembangunan Pertanian 2018).
Sunarso dalam kesempatan itu menyoroti soal kredit di sektor pertanian.
"Menjadi sarjana pertanian tak harus berada di on farm, karena pertanian tak hanya on farm. Saya saat berada diperbankan telah menyalurkan kredit setidaknya untuk 3 juta hektare keperkebunan, utamanya untuk plasma. Jika berkiprah dipertanian (on farm) sudah pasti tak mungkin bisa sebesar itu. Artinya membangun pertanian tak hanya berbicara on farm, justru sangat dipengaruhi off farm baik di hulu maupun hilir termasuk jasa penunjang. Karenanya konsep dan kebijakan pembangunan pertanian mesti visioner dan integratif," ujarnya.
Apakah kenaikan harga komoditi akan lebih baik bagi petani? "Sekiranya petani yang mendapatkan langsung manfaat kenaikan harga, boleh jadi iya, namun mesti di cek dan ricek lagi karena pangan adalah pemicu inflasi terbesar. Jangan sampai inflasi yang disebabkan tak sebanding dengan besaran manfaat yang dinikmati petani yang justru malah melemahkan Nilai Tukar Petani," ujarnya.
Harry Priyono menegaskan masalah pertanian memang sangat kompleks. Pada isu ketenagakerjaan, pertanian selalu menjadi sektor buangan atau pelarian dalam lapangan kerja jika sudah tak bisa lagi bersaing di bursa pasar tenaga kerja, jadi petani.
"Pertanian tak sekedar capaian angka-angka, disana juga bergantung hajat hidup 100 juta warga negara yang terkait pertanian termasuk pelaku usaha kecil yang berbasis pertanian," ujarnya.
Menurut Ahmad Erani Yustika lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan atmosfirb baru antara lain adanya kedaulatan pemerintahan desa serta alokasi dana desa.
"Untuk penggunaan dana desa saat ini 80% untuk infrasturktur desa berupa jalan usaha tani, embung, irigasi tersier, dan sebagainya. Sebagai gambaran, dalam tiga tahun ini telah terbangun 126 ribu kilo meter jalan desa yang dibiayai dana desa," ujarnya.
Kemendes juga mengembangkan kebijakan literasi desa. Pendekatan membangun desa dengan membangun manusianya, agar masyarakat desa adaptif terhadap perubahan, termasuk terhadap inovasi yang menjadi landasan dasar menuju industrialisasi pedesaan.
Ini sangat mungkin dilakukan dengan pendekatan berbasis pertanian yang mana pelaku-pelakunya adalah masyarakat desa setempat sehingga nilai tambah terbesar tetap dinikmati petani yang berada di desa. Nilai tambah terbesar ada di pengolahan, bukan budidaya.
Pembicara lainny, Arif Satria mengakui saat ini kita mengalami krisis regenerasi petani dimana 62% tenaga kerja di sektor pertanian berusia di atas 45 tahun. Di sisi lain ada peluang kita akan memasuki bonus demografi.