News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kaleidoskop 2017

Geliat Proyek e-KTP yang Menjerat Pejabat Tinggi Negara

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa Setya Novanto menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi atau keberatan atas dakwaan, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (20/12/2017). Setya Novanto keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum KPK yang mendakwa dirinya atas kasus korupsi KTP elektronik dengan ancaman hukuman maksimal berupa pidana penjara selama 20 tahun. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sepanjang 2017, perhatian publik Indonesia tersorot skandal kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP periode 2011-2012.

Sampai akhir tahun, setidaknya sudah enam orang menjadi pesakitan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Para pesakitan itu terdiri dari berbagai kalangan mulai dari, pihak eksekutif, legislatif hingga pengusaha.

Pada tahun ini, menjadi momentum penghakiman bagi para penjarah uang negara yang sudah merugikan senilai Rp 2,3 Triliun dari total proyek e-KTP Rp 5,9 Triliun.

Baca: Membaca Calon KSAU Baru

Sejumlah peristiwa-peristiwa besar menarik perhatian masyarakat di tanah air, turut mendampingi perjalanan kasus e-KTP. Nama-nama pejabat negara, anggota DPR RI, kader partai politik, sampai bos-bos perusahan pelat merah dan swasta 'dikuliti'.

Mereka, yaitu mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi di Ditjen Kependudukan dan Pecatatan Sipil, Sugiharto. Lalu, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong; Anggota DPR, Markus Nari; Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiharto Sudihardjo, dan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Selain itu, KPK menjerat seorang tersangka pemberian keterangan palsu kasus korupsi e-KTP, Miryam S Haryani. Politikus Hanura itu merupakan Anggota Komisi V DPR yang pernah menjadi Anggota Komisi II DPR.

“Proses pengadaan  tidak terjadi sendirinya. Ketika KPK melakukan penyidikan ditemukan persoalansebelum pengadaan terjadi, jadi pengadaan proyek 2011-2012 punya latar belakang yang ternyata ada indikasi persekongkolan di luar proses formal antara berbagai pihak sehingga anggaran disetujui, proyek dijalankan dan pengadaan dilakukan,” tutur Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah.

Kasus korupsi e-KTP berawal dari rencana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membuat e-KTP. Kemendagri sudah menyiapkan dana sekitar Rp 6 Triliun sejak 2006 untuk dipergunakan membuat proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Selain itu dianggarkan dana sebesar Rp 258 Milyar untuk pemutakhiran data kependudukan dalam rangkapembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se-Indonesia. Pada 2011, pengadaan e-KTP ditargetkan  untuk 6,7 juta penduduk dan pada 2012 ditargetkan untuk 200 juta penduduk.

Pada pelaksanaan, proyek e-KTP dilakukan konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau pihak terkait. Pada Juni 2011, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengumumkan Konsorsium PT PNRI sebagai pemenang dengan harga 5.841.896.144.993.

Kontrak disepakati pada 1 Juli 2011. Hasil itu diambil berdasarkan surat keputusan Mendagri Nomor: 471.13-476 tahun 2011.Konsorsium ini terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri (Persero), PT Quadra Solution). Mereka menang setelah mengalahkan PT Astra Graphia yang menawarkan harga Rp6 triliun.

Akhirnya, perekaman e-KTP ditargetkan dilaksanakan mulai 1 Agustus 2011. Namun, karena pengiriman perangkat peralatan e-KTP terlambat, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18 Agustus 2011 untuk 197 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Belum sampai perekaman dilakukan di berbagai kabupaten/kota, ada dugaan korupsi di proyek e-KTP.

Kasus ini terbongkar, karena ditemukan sejumlah kejanggalan pada tahap pembahasan anggaran. Kejanggalan dalam proses tender juga sudah tercium oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak September 2012.

Ketika itu pemenang tender pengadaan e-KTP sebagai penyedia perangkat keras dan perangkat lunak. KPK menduga ada aliran dana dari pemenang tender ke sejumlah pihak, termasuk wakil rakyat di DPR.

Setelah melakukan penyelidikan, KPK menetapkan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil di Kementerian Dalam Negeri, sebagai tersangka pertama kasus korupsi e-KTP, pada Selasa 22 April 2014.

Dia diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di DPR untuk tahun anggaran 2011-2013. Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Pada 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, sebagai tersangka.

Dia bersama-sama dengan Sugiharto, memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan wewenang.

Berselang satu bulan kemudian, KPK menahan Sugiharto di Rumah Tahanan Guntur. Sementara itu, Irman ditahan KPK pada 21 Desember 2016. Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice collaborator untuk membongkar kejahatan di proyek e-KTP.

Selain itu seiring proses pengungkapan kasus, KPK mengumumkan telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP, pada 8 Februari 2017. Pihak komisi anti rasuah itu mengimbau kepada siapa saja yang menerima aliran dana tersebut untuk mengembalikan kepada negara melalui lembaga tersebut.

“Kami memiliki bukti dan informasi adanya indikasi pihak lain yang menerima atau menikmati aliran dana terkait kasus e-KTP ini. Oleh karena itu, secara persuasif kita sampaikan sebaiknya pihak yang menerima aliran dana tersebut, termasuk sejumlah anggota DPR, melakukan pengembalian uang kepada KPK dalam rangkaian penyelesaian perkara ini. Itu imbauan yang kami sampaikan saat ini," tutur Febri Diansyah. 

Berselang dua hari setelah pemberitahuan itu, KPK menerima uang Rp 250 miliar dengan rincian Rp 220 miliar dari sejumlah korporasi, satu perusahaan dan satu konsorsium sedangkan Rp 30 miliar dari anggota DPR periode 2009-2014 dan beberapa orang lainnya.

Penyerahan uang itu dilaksanakan usai pemeriksaan sejumlah saksi oleh KPK. Mereka yang kooperatif mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.

Akhirnya, KPK melimpahkan berkas kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada 1 Maret 2017. Sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta digelar pada Kamis 9 Maret 2017. 

Di sidang pertama beragenda pembacaan surat dakwaan, hadir dua orang terdakwa, yaitu Irman dan Sugiharto. Sejumlah nama disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi e-KTP. Puluhan anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014 disebut menerima fee dari uang yang dianggarkan dalam proyek e-KTP.

Mereka turut terlibat menerima uang, yaitu mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, sejumlah 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta, mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini, sejumlah 2,7 juta dollar AS dan Rp 22,5 juta, Ketua Panitia Pengadaan e-KTP, Drajat Wisnu Setyawan, sejumlah 615.000 dollar AS dan Rp 25 juta, Enam anggota panitia lelang, masing-masing sejumlah 50.000 dollar AS.

Lalu, Husni Fahmi sejumlah 150.000 dollar AS dan Rp 30 juta, Anas Urbaningrum sejumlah 5,5 juta dollar AS, Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) sejumlah 1,4 juta dollar AS, Olly Dondokambey sejumlah 1,2 juta dollar AS, Tamsil Linrung sejumlah 700.000 dollar AS, Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dollar AS, Arif Wibowo sejumlah 108.000 dollar AS, Chaeruman Harahap sejumlah 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar, Ganjar Pranowo sejumlah 520.000 dollar AS.

Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah 1,047 juta dollar AS, Mustokoweni sejumlah 408.000 dollar AS, Ignatius Mulyono sejumlah 258.000 dollar AS, Taufiq Effendi sejumlah 103.000 dollar AS, Teguh Juwarno sejumlah 167.000 dollar AS, Miryam S Haryani sejumlah 23.000 dollar AS, Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing 37.000 dollar AS, Markus Nari sejumlah Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS, Yasonna Laoly sejumlah 84.000 dollar AS, Khatibul Umam Wiranu sejumlah 400.000 dollar AS, M Jafar Hafsah sejumlah 100.000 dollar AS, Ade Komarudin sejumlah 100.000 dollar AS.

Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar, Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sejumlah Rp 2 miliar, Marzuki Alie sejumlah Rp 20 miliar, Johannes Marliem sejumlah 14.880.000 dollar AS dan Rp 25.242.546.892, Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS.

Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS, Beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing sejumlah Rp 60 juta.

Manajemen bersama konsorsium PNRI sejumlah Rp 137.989.835.260, Perum PNRI sejumlah Rp 107.710.849.102, PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 145.851.156.022, PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148.863.947.122, PT LEN Industri sejumlah Rp 20.925.163.862, PT Sucofindo sejumlah Rp 8.231.289.362, PT Quadra Solution sejumlah Rp 127.320.213.798,36.

Namun, anggota DPR RI dari Fraksi Hanura, Miryam S. Haryani, menyebut keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK dibuat atas tekanan penyidik. Lalu, dia mencabut keterangan BAP dalam persidangan perkara korupsi e-KTP.

Sambil terisak-isak di persidangan, Miryam menyebut kerterangan dalam BAP terkait dugaan penerimaan dan bagi-bagi duit e-KTP itu tidak benar. Keterangan itu dibuat karena Miryam merasa terancam oleh perkataan penyidik KPK. Belakangan KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka dalam kasus dugaan memberikan keterangan palsu di persidangan.

Proses pengungkapan kasus korupsi e-KTP tidak berhenti sampai Irman dan Sugiharto diseret ke pengadilan. Pihak KPK terus melakukan pengembangan. Berdasarkan pengumpulan fakta dan petunjuk, komisi anti rasuah itu menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka pada Rabu (23/3/2017).

Berselang satu hari kemudian, pelaku utama korupsi itu ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dalam proyek itu, dia berperan meloloskan anggaran Rp 5,9 Triliun. Dia membagi-bagikan uang kepada sejumlah pimpinan dan anggota Komisi II DPR, serta Badan Anggaran, demi mendapatkan persetujuan nilai anggaran.

Di persidangan, Andi sebagai orang dekat Setya Novanto. KPK menyebut Andi dan Novanto bersama-sama mengondisikan proyek, sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 Triliun.

Pengakuan Andi di sidang kasus korupsi e-KTP banyak menyeret nama Novanto dan keterlibatan Ketua DPR RI banyak diungkap. Andi mengaku memberikan uang total USD 7 juta ke DPR dalam proyek itu. Selain itu, dia juga sempat memberikan hadiah jam tangan untuk Novanto yang ditaksir seharga Rp 1,3 Miliar.

Akhirnya, KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka. Namun, di penetapan status tersangka pertama, dia mampu lepas dari hukum. Hal ini, karena hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan tim penasehat hukum.

Namun, komisi anti rasuah itu kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka.Pengumuman penetapan Novanto sebagai tersangka itu disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (10/11/2017).

"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," kata Saut Situmorang.

Setelah melalui serangkaian drama mulai dari hilangnya Novanto hingga mengalami kecelakaan lalu lintas di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, yang bersangkutan akhirnya diseret ke ‘meja hijau’. Sidang perdana kasus korupsi e-KTP yang menjerat terdakwa, Setya Novanto digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu (13/12/2017).

Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu didakwa Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pada dakwaan alternatif, jaksa menyangkakan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

KPK juga menyeret dua orang lainnya dari unsur anggota DPR RI dan salah satu perusahaan yang tergabung dalam proyek pengadaan e-KTP.

Anggota DPR RI periode 2009-2014, Markus Nari menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, karena diduga memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran e-KTP. Dia diduga memperkaya sejumlah korporasi yang terkait dalam pelaksanaan proyek.

Sebagai realisasi permintaan, dia meminta uang sebanyak Rp 5 Miliar kepada Irman. Namun, dia diduga baru menerima sekitar Rp 4 Miliar.

Terakhir, KPK menetapkan Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo, sebagai tersangka. Anang diduga terlibat dalam kasus itu bersama tersangka lainnya merugikan kerugian negara Rp 2,3 Triliun dari nilai paket pengadaan sebesar Rp 5,9 Triliun. Perusahaan Anang tergabung dalam konsorsium yang memenangkan proyek e-KTP tersebut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini