Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Partai Golkar ibarat diterjang badai saat sang Ketua Umum Setya Novanto dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Novanto yang menjabat sekitar satu tahun delapan bulan lewat Musyawaran Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Bali, bulan Mei 2016, dilengserkan kasus korupsi pengadaan e-KTP.
Konflik internal yang pernah menerjang partai berlambang pohon beringin ini berhasil dilewati pasca Novanto memimpin.
Baca: Persiapan malam Tahun Baru 2018: Pernikahan massal, pesta kembang api hingga isu keamanan
Bahkan selama tiga tahun belakangan, Golkar sudah menggelar tujuh kali musyawarah nasional, satu kali munas, dua kali munaslub dan empat kali rampimnas.
Diusianya yang mencapai 53 tahun bulan Oktober 2017 lalu, Golkar diyakini mampu keluar dari badai politik, menyatukan seluruh kadernya kembali hingga berlaga di gelanggang politik nasional.
*Siapa Suruh Pilih Novanto?
Kasus hukum yang membelit Setya Novanto menjadi penyebab Golkar kembali terpuruk.
Dalam kasus ini, Setya Novanto dituduh ikut merugikan uang negara sebesar Rp 2,3 triliun. Merasa dirinya tak bersalah, Setya Novanto lalu menggugat lewat praperadilan, dan lagi-lagi menang. Meski pada praperadilan jilid dua Novanto akhirnya dinyatakan kalah oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam Munaslub di Bali, Novanto kandidat nomor urut dua resmi terpilih menjadi ketua umum dalam pemilihan suara dengan voting tertutup.
Dirinya dinyatakan menang setelah kandidat lainnya Ade Komarudin memilih mengundurkan diri dan tidak maju ke putaran kedua.
Ade Komarudin meraih 173 suara sementara Novanto 277 dari 544 pemilih.
Banyak pihak yang langsung berpaling dan menyalahkan Novanto setelah ditetapkan KPK menjadi seorang tersangka.
Keputusan itu pun disayangkan sejumlah pihak.
"Siapa suruh dulu (DPD I dan DPD II) itu memilih Novanto. Sudah tahu orang itu banyak kasusnya. Bahkan sebelum menjadi ketua umum," kata seorang petinggi Partai Golkar kepada Tribunnews.com beberapa waktu lalu.
Novanto yang terpilih sebagai Anggota DPR tahun 1999-2004 mewakili NTT dan dipercaya secara berturut-turut selama empat periode sampai 2014-2019 ini pun melewati jalan panjang melawan KPK.
Setelah beberapa kali diperiksa hingga mengaku sakit, Novanto memenangi gugatan praperadilan atas status tersangka yang ditetapkan KPK.
Tanggal 29 September 2017, Hakim tunggal Praperadilan PN Jaksel Cepi Iskandar memenangkan Setya Novanto.
Status tersangkanya dianggap tidak sah dan penyidikan diminta dihentikan. Sebab, penetapan tersangka itu dilakukan di awal penyidikan. Sementara, permohonan pembatalan status cegahnya tidak dikabulkan.
Di tengah perlawanan hukum pihak Setnov itu, pada Jumat (10/11/2017), KPK resmi merilis penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP untuk kedua kalinya.
Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) diterbitkan pada 31 Oktober 2017. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan tersangka Setnov itu sudah diantarkan ke rumahnya, pada 3 November 2017.
Beberapa jam setelah penetapan kembali Novanto sebagai tersangka, Fredrich membuat laporan polisi lainnya terhadap KPK.
Yakni, dugaan tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam jabatan. Ia juga berencana menggugat kembali ke praperadilan.
Pada tanggal 12 November 2017, Novanto genap berusia 62 tahun.
Satu hari setelahnya, Senin (13/11/2017) Setya Novanto kembali mangkir dari panggilan KPK.
Dirinya mengirimkan surat yang berkop DPR RI soal ketidakhadirannya kepada lembaga antirasuah. Isinya, dalih soal keharusan KPK dalam mengantongi izin Presiden untuk memeriksa dirinya. Sebelum ada izin Presiden, Setnov tak akan memenuhi panggilan KPK.
Di saat yang sama, Setnov melakukan kunjungan kerja sebagai anggota DPR ke daerah pemilihan (Dapil)-nya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada hari Rabu (15/11/2017) mengenakan setelan jas lengkap, Novanto berpidato dihadapan Anggota DPR dan membacakan pidato pembukaan masa sidang DPR tahun sidang 2017-2018.
Saat itu, dirinya juga memastikan Pansus Hak Angket KPK melanjutkan penyelidikannya terhadap KPK.
Padahal KPK meminta dirinya hadir untuk diperiksa sebagai tersangka. Novanto beralasan, pihaknya tengah mengajukan gugatan uji materi UU KPK ke MK.
Malam harinya sekitar pukul 21.38 WIB, tim Penyidik KPK datang ke kediaman Novanto dengan membawa surat penangkapannya. Upaya paksa itu juga dikawal oleh puluhan anggota Brimob Polri bersenjata laras panjang.
Setelah menunggu beberapa saat, Fredrich Yunadi sang kuasa hukum, datang dan berdebat dengan penyidik soal keabsahan penangkapan itu. Penyidik kemudian menggeledah rumah Novanto dan tak menemukannya.
Namun Fredrich mengaku, Novanto sempat menerima telepon dan dijemput orang tak dikenal sebelum KPK datang ke kediamannya.
Tanggal 16 November 2017, Kuasa Hukum Setya Novanto diketahui kembali mendaftarkan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka Novanto di PN Jaksel, pada 15 November 2017.
Terkait kasus yang menimpa Novanto, Partai Golkar pun menggelar rapat pleno Selasa 21 November 2017 di DPP, Slipi, Jakarta Barat.
Dalam rapat tersebut disepakati beberapa poin, yang salah satunya membahas nasib Novanto setelah putusan praperadilan yang kedua diputus.
Dalam rapat itu hadir Koordinator Bidang Ekonomi Partai Golkar Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian yang digadang menjadi calon kuat pengganti Novanto.
Beberapa waktu berselang, Airlangga pun mendapatkan dukungan dari sejumlah DPD tingkat I dan II se-Indonesia.
Mereka mendorong Airlangga ditetapkan menjadi ketua umum dalam Munaslub. Dalam rapat ini, pendukung dan penentang Novanto berbedat keras. Ada yang berpendapat mempertahankan Novanto sebagai ketua umum meskipun berstatus tahanan KPK.
Ada juga yang meminta Golkar memecat Novanto.
Bukan cuma diam, dari balik jeruji Rutan KPK, Novanto menuliskan beberapa surat.
Salah keputusannya legowo mundur dari jabatan Ketua DPR dan menunjuk Ketua Badan Anggaran DPR RI Aziz Syamsuddin, menggantikan posisinya.
Namun pembahasan surat kiriman Novanto soal penunjukan Aziz alot.
Sebanyak 50 dari 91 anggota fraksi Golkar pun menandatangani lembar surat penolakan Aziz jadi Ketua DPR.
Dalam rapat Badan Musyawarah pimpinan DPR memutuskan Aziz batal dilantik. Namun dua surat Novanto tetap dibacakan dalam sidang paripurna penutupan masa persidangan II, Senin (11/12/2017).
*Pleno Kilat Tetapkan Airlangga Jadi Ketua Umum
Rapat pleno DPP Golkar memutuskan mengangkat Airlangga Hartarto menjadi ketua umum pengganti Setya Novanto.
Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid yang memimpin rapat menyatakan, posisi ketua umum lowong karna pembacaan dakwaan Novanto sudah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Dalam rapat ini juga disepakati bahwa munaslub akan digelar tanggal 19 sampai 21 Desember di Jakarta.
Meskipun Airlangga terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi sebelum Munaslub digelar, tapi bukan berarti forum rapat pleno Golkar berlangsung landai.
Drama ketegangan antara pengurus DPP Golkar sudah terasa sebelum rapat pleno dimulai. Pengurus DPP Golkar terpecah menjadi dua kubu perihal pembahasan Munaslub dalam rapat pleno.
Kesepakatan Azis Ketua DPR Muluskan Langkah Airlangga Jadi Ketum.
Wakil Bendahara Umum Golkar Erwin Ricardo Silalahi yang merupakan bagian dari faksi Azis, forum pleno akhirnya memutuskan menerima azas lowong dan mengangkat Airlangga sebagai ketua umum setelah ada deal.
"Pak Azis legawa. Dealnya jadi ketua DPR," kata Erwin usai rapat pleno.
Menurutnya, sikap legawa ini diakui oleh Azis setelah rapat pleno. Dirinya mengaku memilih sikap tersebut karena tidak ingin terjadi kegaduhan karena tarik menarik kepentingan yang terlalu panjang dan sengit.
"Saya memikirkan yang lebih besar. Partai ini harus besar. Partai ini harus menang 2019. Itu yang lebih penting," kata Azis.
Namun, Azis membantah ada kesepakatan seperti kata Erwin di antara dirinya dengan Airlangga di balik sikap legawanya. Ia mengaku sikapnya murni dari hati nuraninya sendiri.
"Enggak ada (deal). Sama-sama legowo saja," kata Azis.
Sementara perihal posisi ketua DPR, Aziz menyerahkan hal itu kepada ketua umum terpilih dalam menentukan nama pengganti Novanto yang telah mengundurkan diri.
"(Ketua DPR) terserah ketum Pak Airlangga," kata Azis.
Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Presiden ketiga RI BJ Habibie, Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri hadir dalam pembukaan Munaslub Golkar yang dibuka hari Rabu (20/12/2017) malam.
Selain mengukuhkan Airlangga jadi ketua umum, disepakati masa jabatannya mulai tahun 2017 sampai 2019. Amanat tunggal juga diberikan kepada Airlangga untuk melakukan revitalisasi dan restrukturisasi pengurus DPP Golkar.