TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kader Muda Demokrat (KMD) dengan segala hormat menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Review pasal 222 terkait Presidential Threshold (PT) pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Wakil Ketua Umum KMD Kamhar Lakumani mengatakan putusan MK itu adalah langkah mundur dalam ikhtiar pemajuan rezim pemilu yang sejatinya melalui putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, Pemilu 2019 nanti yang akan berlangsung serentak antara Pileg dan Pilpres menjadi pembuka lembaran baru dimulainya rezim pemilu yang semakin meningkatkan derajat dan kualitas demokrasi.
"KMD sangat menyangkan putusan MK ini, tentunya sejarah akan mencatat, yang pasti bukan dengan tinta emas atas pemunduran derajat dan kualitias pemilu akibat putusan ini," ujar Kamhar kepada pers di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Menurut Kamhar, KMD menegaskan kembali sikapnya sebagai bagian dari Forum Komunikasi Organisasi Kepemudaan Partai Politik (OKP Parpol) yang dideklarasikan pasca kegiatan sosialisasi peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara bagi pimpinan OKP Parpol yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi di Cisarua Bogor.
Baca: KMD Dukung Organisasi Kepemudaan Parpol Rekomendasikan Judicial Review UU Pemilu
Acara ini diikuti 120 Orang pimpinan OKP dari 10 Partai Politik yang telah merumuskan 5 poin rekomendasi.
"Dimana poin pertama menyebut Judicial Review UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait Presidential Threshold," ujar Kamhar yang bertindak sebagai Ketua Kelompok Tim Perumus Rekomendasi OKP Parpol ini.
Rekomendasi tersebut, menurut Kamhar, antara lain didasari pemikiran bahwa pada UUD 45 terkait dengan syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden tak ada ketentuan ambang batas, yang berarti setiap parpol peserta pemilu dan atau gabungan parpol peserta pemilu, dapat mengajukan pasangan Capres dan Cawapres.
"Dengan cara ini akan membuka lebar jalan dan kesempatan bagi pemuda hadir dan tampil sebagai pemimpin, termasuk sebagai calon presiden atau sebagai calon wakil presiden pada 2019 nanti," ujar Kamhar.
Tanpa Presidential Threshold, lanjut Kamhar, koalisi yang terbangun antar partai akan lebih bersifat inklusif dan partisipatif sebagai resultan dari interaksi dan proses pendewasaan politik yang menjadi tanda demokrasi semakin maju dan berkualitas.
"Koalisi yang terbentuk menjadi koalisi strategis yang lebih subtantif, karena kesamaan garis ideologi, platform, konsep-konsep maupun program," ujar Kamhar yang juga Ketua DPP KNPI ini.
Jika argumentasi dan tujuan yang hendak dituju adalah penguatan sistem presidential, Kamhar mengatakan koalisi yang bersifat inklusif dan partisipatif adalah pilihan cara yang paling memadai sebagai “Transisi Periodik” menuju penyatuan atau penyederhanaan partai yang menjadi syarat untuk kuat dan efektifnya sistem presidential berjalan.
"Proses penyatuannya berjalan alami dan strategis, bukan penyatuan yang dipaksakan melalui Presidential Threshold sehingga mudah bercerai seperti yang sudah-sudah," ujarnya.
Karenanya, Kamhar mengatakan argumetasi PT untuk penyederhanaan partai dan penguatan sistem presidential, jauh panggang dari api.
Dimana, kata dia, penerapan Presidential Threshold hanya akan melahirkan koalisi pragmatis taktis jangka pendek untuk sekedar melewati ambang batas yang sarat dengan deal-deal politik yang lazim dikenal sebagai politik dagang sapi atau bagi-bagi kekuasaan.
"Praktek-praktek seperti ini secara empiris dan historis terjadi pada rezim pemilu terdahulu yang mewujud dalam bentuk oligopoli politik, sehingga dalam kontestasi Pemilihan Presiden, kontestannya hanya itu-itu saja. Lu lagi, lu lagi," ujar Kamhar.
"Seolah-olah Indonesia krisis kader, padahal faktanya kita memiliki banyak kader-kader terbaik bangsa yang memiliki rekam jejak, integritas dan kompetensi yang memadai dan membanggakan untuk tampil seperti misalnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)," ujar Kamhar menambahkan.