TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengabaian hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa kali menyoal penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah preseden buruk dalam sistem penegakan hukum ke depan.
Audit yang sudah dilakukan beberapa kali, dan dimintakan untuk diaudit kembali, merupakan bentuk pengabaian mandat sekaligus hasil kerja BPK sebelumnya.
"Sebetulnya persoalan ini sudah clear. Terlebih BPK di tahun 2006, sudah merilis LHP (laporan hasil pemeriksa) di situ dikatakan tidak ada kerugian negara. Jadi dari sisi mana dikatakan merugikan keuangan negara," ujar Pakar Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-undangan Universitas Padjajaran, Gde Pantja Astawa, Jumat (19/1).
Ia mengkritisi adanya audit BPK kelima kali yang disebut KPK menyebutkan adanya potensi kerugian negara dari SKL BLBI BDNI. Padahal, empat kali sebelumnya BPK bersama pihak pemerintah dan swasta sebagai auditor independen, sudah mengaudit hal sama. Bahkan, di salah satu audit keempat, audit menyebutkan adanya kelebihan bayar oleh pihak BDNI.
Pantja menggarisbawahi, bahwa KPK tidak bisa menafikan BPK sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan yang dapat menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara.
Peran BPK ditegaskan konstitusi, Undang-undang Dasar 1945. Tindakan pengabaian KPK terhadap audit-audit BPK sebelumnya, dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan pada BPK di mata siapa pun entitas yang diperiksanya.
"Baik itu BNN maupun pemerintah daerah di seluruh Indonesia akan menilai BPK tidak bisa dipercaya, karena KPK menganulir temuan BPK," katanya.
Pantja mengingatkan, pengabaian hasil pemeriksaan BPK tidak hanya terjadi pada kasus BLBI. Dalam kasus Sumber Waras, KPK berlaku demikian.
"Nah, waktu kasus Sumber Waras, ketika Pak Ahok jadi gubernur DKI. Bukankah KPK yang meminta BPK untuk melakukan audit investigatif. Begitu kemudian hasilnya temuan kerugian negara yang disampaikan BPK, KPK justru mengatakan tidak ada kerugian negara. Ini jadi aneh, padahal dia (KPK) sendiri yang meminta," terangnya.
Lebih jauh ia memastikan sebenarnya tidak ada lagi yang harus dipermasalahkan pada kasus SKL BLBI, kalau saja KPK mau merujuk audit BPK terdahulu.
Pantja juga mengingatkan sudah tidak zamannya persoalan korupsi ditarik ke wilayah pidana. Sebab semestinya yang menjadi prioritas itu adalah hukum administrasi, karena mekanisme dan sanksinya sudah jelas ada.
"Saya sering beda pendapat. Tapi aturannya memang seperti itu, baik dalam UU Perbendaharaan Negara maupun dalam UU Pemeriksaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Semuanya berujung pada administratif. Ganti rugi itu tidak ada urusannya dengan pidana. Sayang omongan saya tidak pernah digubris," katanya.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di KONTAN, dengan judul: Pengamat: KPK tak bisa tafsirkan sendiri audit BPK soal BLBI