TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah nama orang penting muncul dalam fakta sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (25/1/2018) kemarin dalam kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto.
Di sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum pada KPK menghadirkan lima saksi mereka yakni Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Sugiharto.
Tiga saksi lainnya yakni mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir, pengusaha Yusnan Solihin dan Dirut PT Data Aksara, Aditya Ariadi Soeroso.
Fakta sidang yang menarik, pertama yakni munculnya nama Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari kesaksian mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir.
Baca: Ini Kata Mendagri Terhadap Pihak yang Ragukan Netralitas Pejabat Gubernur dari Polri/TNI
Dalam persidangan, Mirwan Amir mengatakan dia pernah meminta SBY untuk menghentikan proyek e-KTP setelah mendapat beberapa rekomendasi dari Yusnan Solihin, pengusaha yang paham teknis e-KTP.
Saat itu, respon SBY menolak menghentikan proyek e-KTP yang bermasalah tersebut dengan alasan menjelang pemilihan kepada daerah.
Fakta kedua, Mirwan mengaku bertemu dengan Andi Agustinus alias Andi Narogong di ruang kerja Setya Novanto, lantai 12 di DPR.
Mirwan mengakui pertemuan itu terjadi tahun 2010. Pada Jaksa KPK, Mirwan menyatakan tidak mengetahui orang yang ada di ruangan Setya Novanto adalah Andi Narogong.
Dia baru mengetahui orang itu adalah Andi Narogong setelah ada ribu-ribut kasus e-KTP. Di sidang sebelumnya, Andi Narogong sudah mengungkap Mirwan Amir pernah menitipkan perusahaan untuk ikut dalam proyek e-KTP.
Soal penerimaan sejumlah aliran dana di e-KTP, ketika dicecar oleh jaksa KPK, Mirwan Amir membantah menerima uang panas dan mengaku sama sekali tidak terlibat di kasus megakorupsi itu.
Fakta ketiga, Irman mengungkap Menteri Dalam Negeri saat itu, Gamawan Fauzi, hanya dia saat diberitahu pejabat Kemendagri menerima uang Rp 78 miliar dari proyek e-KTP.
Atas hal itu, hakim dibuat heran karena seharusnya sebagai seorang Menteri, Gamawan Fauzi dilarang menerima uang.
Ketua majelis hakim Yanto kemudian memberikan perumpamaan atas sikap diam Gamawan Fauzi.
Hakim Yanto bertanya pada saksi Sugiharto, selaku mantan Direktur Pengelola Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil.
"Saksi ini asalnya dari mana, usianya berapa?" Kata Yanto. Sugiharto kemudian menjawab ia berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Usianya saai ini 59 tahun.
Hakim Yanto kemudian melanjutkan pertanyaan kepada Sugiharto. Apakah Sugiharto pernah mendengar cerita tentang gadis desa tahun 60-70an yang dilamar seorang pria.
"Dulu kan belum modern. Nah, kalau ada gadis dusun dilamar perjaka, kalau gadisnya cuma diam, itu tandanya apa?" Kata Yanto sambil bertanya kepada Sugiharto.
Mendengar pertanyaan itu, Sugiharto menjawab bahwa sikap diam seorang gadis dalam perumpamaan itu dapat diartikan sebagai kesediaan untuk menerima pria yang melamarnya.
"Ya Mau," singkat Sugiharto.
Fakta selanjutnya, keempat, Irman menuturkan terdakwa Setya Novanto berperan dalam pengurusan anggaran proyek e-KTP di DPR.
Menurut Irman, Andi Narogong pernah berujar Setya Novanto adalah kunci anggaran DPR. Masih menurut Irman, Kemendagri pernah mengajukan anggaran proyek Rp 60 miliar di tahun 2008, namun DPR menolak. Berbeda saat anggaran e-KTP diajukan ke DPR, yakni Rp 5,9 miliar, itu langsung disetujui.