Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (PP) Sumatera DPP Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia menyebut pendekatan kemanusiaan akan dilakukan partainya untuk menyikapi kasus korupsi yang menjerat kader hingga pimpinan Golkar.
Ia menjelaskan bahwa baik kader maupun pimpinan Golkar yang tengah terjerat kasus korupsi, akan mendapatkan bantuan hukum.
"Kader atau pimpinan yang ditersangkakan, akan diberi bantuan hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ujar Doli, Senin (5/2/2018).
Hal tersebut, kata Doli, menimbang pada aspek kemanusiaan.
Mereka yang telah bestatus tersangka menurutnya masih memiliki hak mendapatkan pembelaan hukum. "(Kami melihat mereka) sebagai manusia yang memiliki hak pembelaan di depan hukum," tegas Doli.
Selain itu, pemberian bantuan hukum itu juga untuk menghargai peran dan kontribusi terhadap partai, yang telah diberikan oleh kader maupun pimpinan yang kini tengah tersandung kasus korupsi.
"Dan dalam konteks menghargai peran dan kontribusinya kepada partai selama ini," kata Doli.
Baca: Penyidik KPK Rasakan Hal-hal Ganjil Saat Geledah Vila Mewah Zumi Zola di Tanjung Jabung Timur
Kasus korupsi terbaru yang melibatkan kader Golkar adalah kasus suap perizinan dan pengurusan penempatan jabatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang.
Bupati Jombang sekaligus Ketua DPD I Golkar Jawa Timur Nyono Suharli Wihandoko (NSW), kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Baca: KPK: Uang Kutipan Dana BPJS untuk Puskesmas Se-Kabupaten Jombang untuk Biaya Maju Lagi di Pilkada
Status baru Nyono disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu sore, 4 Februari kemarin.
Beberapa jam kemudian, Nyono langsung dibawa menuju ke Rutan Guntur untuk menjalani 20 hari pertamanya sebagai tahanan, bersama para tahanan KPK lainnya.
Sebelumnya, KPK mengamankan Nyono dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Selain Nyono, KPK juga telah menetapkan seorang lainnya sebagai tersangka, yakni Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati (IS).
Baca: KPK: Uang Kutipan untuk Puskesmas Se-Jombang Dipakai Bupati Nyono untuk Biaya Beriklan di Media
Keduanya diamankan bersama 5 orang lainnya yakni Kepala Puskesmas Perak sekaligus Bendahara Paguyuban Puskesmas se-Jombang Oisatin (OST), Kepala Paguyuban Puskesmas se-Jombang Didi Rijadi (DR), Ajudan Bupati Jombang Munir (M), serta S dan A.
Total ke tujuh orang tersebut diamankan dari 3 lokasi berbeda, yakni Jombang, Surabaya dan Solo.
Namun saat ini baru 2 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni NSW dan IS.
NSW ditangkap saat tengah berada di sebuah restoran siap saji di Stasiun Solo Balapan, Solo, Sabtu (3/2/2018), sekira pukul 17.00 WIB, saat hendak menunggu kereta yang aakan membawanya ke Jombang.
Ia ditangkap dengan uang sitaan sebesar Rp 25.550.000 dan US$ 9.500.
Sedangkan IS diamankan di sebuah apartemen di Surabaya, bersama S dan A, pada hari yang sama.
Dari IS ditemukan catatan dan buku rekening bank atas nama IS yang diduga menjadi tempat menampung uang kutipan itu.
NSW diduga menerima himpunan dana dari 34 Puskesmas se-Jombang, yang masing-masing dipotong sebanyak 7 persen.
Pembagiannya yakni 5 persen untuk NSW selaku Bupati Jombang, 1 persen untuk Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati (IS), dan 1 persen lainnya untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang.
Dana yang seharusnya untuk pelayanan kesehatan masyarakat di puskesmas Jombang itu dikumpulkan melalui asosiasi berbentuk Paguyuban.
Kutipan 5 persen tiap Puskesmas itu dihimpun dan diberikan kepada NSW, satu diantaranya untuk membiayai iklan dirinya pada salah satu media di Jombang, terkait pencalonannya sebagai petahana pada Pilkada.
Sedangkan IS sebagai pemberi suap, memotong (mengutip) dana itu untuk diberikan kepada NSW demi mengamankan posisinya sebagai Kepala Dinas Kesehatan.
Untuk NSW yang diduga sebagai pihak yang menerima suap, terancam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan untuk IS sebagai pihak yang diduga memberikan suap, terancam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.