TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seketika suara mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, Nofel Hasan menjadi parau dan terbata-bata.
Ini karena kuasa hukumnya bertanya soal apakah Nofel Hasan yang kini duduk di kursi terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring dan drone Badan Keamana Laut di Bakamla memiliki tanggungan.
"Anda memiliki tanggungan? tanya pengacaranya, Rabu (7/2/2018) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
"Punya, istri dan tiga anak. Jadi total saya punya empat tanggungan," jawab Nofel Hasan dengan terbata-bata.
"Lalu setelah anda diproses hukum, keluarga anda punya penghasilan lain? " tanya pengacara lagi.
"Serabutan, kalau bisa dagang kue, dagang kue," ungkap Nofel Hasan.
Lalu Nofel Hasan langsung melepas kaca mata dan mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Tarik napas yang panjang, biar lega," ucap hakim berupaya membuat Nofel Hasan tenang.
Kuasa hukum kembali bertanya, bagaimana perasaan dari kliennya itu setelah mengakui menerima uang SGD 104.500 atau sekitar Rp 1,045 miliar terkait kasus pengadaan satelit monitoring di Bakamla ?
Baca: KPK Periksa Pengusaha Terkait Suap RAPBD Jambi 2018
Merespon itu, Nofel Hasan mengaku dirinya sangat menyesal karena penerimaan itu membuat dirinya terpisah dengan keluarga. Ini mengakibatkan kesedihan mendalam bagi Nofel Hasan dalam menjalani hari-harinya.
"Saya menyesal. Setahun bekerja di Bakamla, saya tidak pernah minta uang ke internal maupun eksternal. Saya mengakui menyesali terima uang dari Adami. Uang tersebut telah saya kembalikan seluruhnya ke KPK," ujar Nofel Hasan.
Di akhir sidang, hakim memutuskan sidang dinyatakan selesai dan akan dilanjutkan pada Rabu depan dengan agenda pembacaan putusan.
Diketahui dalam dakwaan Nofel Hasan, Kepala Bakamla, Arie Soedewo dan Eko Susilo Hadi membahas pembagian fee.
Arie Soedwo menyampaikan jatah Bakamla sebesar 7,5 persen dari nilai pengadaan dan dua persennya diserahkan lebih dulu ke Eko.
Uang itu diserahkan pada 14 November 2016 di kantor Bakamla oleh Muhammad Adami Okta (orang kepercayaan Fahmi Darmawansyah) kepada Eko Susilo Hadi sejumlah USD 10 ribu dan Euro 10 ribu dalam amplop cokelat yang juga berisi kertas catatan perincian pengeluaran uang yang akan diserahkan ke Bakamla. Eko lalu menyampaikan itu ke Nofel Hasan dan Bambang Udoyo.
Rincian uang yang akan diberikan dari jatah dua persen adalah Rp 1 miliar untuk Nofel Hasan, Rp 1 miliar untuk Bambang Udoyo, Rp 2 miliar untuk Eko Susilo Hadi, dan sisanya dipegang Adami Okta lebih dulu. Uang diminta agar disiapkan dalam dolar Singapura.
Penyerahan uang dilakukan pada 25 November 2016 sekitar pukul 10.00 WIB yang diberikan Adami Okta bersama Hardy Stefanus dengan membawa uang 104.500 dolar Singapura ke ruang kerja Nofel di kantor Bakamla.
Sebelumnya, Nofel Hasan didakwa telah menerima SGD 104.500 atau sekitar Rp 1,045 miliar terkait kasus pengadaan satelit monitoring di Bakamla. Uang tersebut diterima Nofel dari Fahmi Darmawansyah.
Penerimaan terhadap Nofel juga berbarengan dengan penerimaan terhadap Eko Susilo Hadi dan Bambang Udoyo. Nofel juga disebut telah menyusun dan mengajukan anggaran pengadaan satelit monitoring Bakamla pada APBNP 2016.
Dalam dakwaan juga dijelaskan, Nofel bersama dengan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku staf khusus bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla Arie Soedwo membuat anggaran pengadaan satelit monitoring senilai Rp 402,71 miliar dan drone senilai Rp 580,468 miliar.
Ali Fahmi pada bulan Maret 2016, datang ke kantor PT Merial Esa dan bertemu Fahmi Darmawansyah selaku dirut perusahan tersebut didampingi Muhammad Adami Okta sebagai orang kepercayaan.
Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk 'main proyek' di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus memberikanfee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan.
Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan monitoring satellite senilai Rp 400 miliar dan Ali meminta uang muka enam persen dari nilai anggaran tersebut.
Untuk pelelangan, Fahmi menggunakan PT Merial Esa. Sedangkan, untuk pengadaan monitoring satellite, Fahmi menggunakan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang sudah dikenalikan oleh Fahmi.
Dia lalu mempercayakan Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus untuk mengurus proses pengadaan di Bakamla tersebut.
Atas perbuatannya, Nofel Hasan didakwa berdasarkan pasal 12 huruf b atau pasal UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.