Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menganggap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diluar dugaan.
Menurutnya ada empat hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) soal keputusan tersebut.
Baca: KPK Tolak Rekomendasi Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat Nazaruddin, Ini Alasannya
Ditambah lagi putusan MK sebelumnya menyebutkan bahwa KPK bukan bagian eksekutif.
Tapi putusan sekarang menyatakan KPK adalah lembaga penunjang eksekutif dan masuk dalam obyek Pansus angket DPR.
"Sebetulnya ada yang aneh ketika pertimbangan putusan mengatakan bagian eksekutif dengan fungsi penyidikan dan penuntutan kemudian harus dipansuskan," ujar mantan Pansel KPK ini kepada Tribunnews.com, Jumat (9/2/2018).
Dikhawatirkan, imbuh Yenti, dalam sidang-sidang pansus akan menyentuh materi penyidikan dan penuntutan.
Baca: Masinton: KPK Diskriminasi Bila Nazaruddin Dapat Asimilasi
Apalagi kalau sampai menanyakan strategi pengungkapan, menurut Yenti, itu sungguh berbahaya karena kasus e-KTP sedang berjalan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kehadiran KPK dalam sidang Pansus berpotensi adanya intervensi terhadap proses hukum dan hal itu sangat tidak boleh.
Baca: Kuasa Hukum Zumi Zola: DPRD Ancam Pejabat Pemprov Jambi Jika Tak Diberi Uang Ketok
"Meskipun DPR selalu berdalih tidak untuk melemahkan tetapi dampak sidang pansus bisa melemahkan. Apalagi nanti dalam rekomendasinya bisa-bisa bermuatan pelemahan KPK," jelasnya.
Yenti pun mengaku setuju harus ada kontrol terhadap KPK tetapi bukan dengan pansus DPR.
"Selain itu pasti ada conflict of interest (konflik kepentingan) mengingat banyak nama politisi DPR yang nota bene kader partai yang disebut terlibat dalam kumparan kasus e-KTP," ucapnya.
Menurutnya, kontrol DPR terhadap KPK bisa dilakukan dengan mekanisme RDP oleh komisi III, bukan melalui Pansus yang bisa menjatuhkan kewibawaan institusi penegak hukum tersebut.
"Pansus yang digelar sudah pasti mengganggu KPK yang sedang menangani berbagai kasus korupsi, seharusnya DPR mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi bukan malah merecoki seperti sekarang ini," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan menolak permohonan uji materi yang diajukan sejumlah pegawai KPK terhadap Hak Angket KPK. Dengan putusan ini, MK menyatakan hak angket KPK yang dibentuk KPK adalah sah.
"Menolak permohonan para pemohon," kata Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (8/2/2018).
Dalam uji materi ini, pegawai KPK menilai pembentukan hak angket terhadap tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Para pemohon menganggap KPK bukan termasuk unsur eksekutif sehingga tidak dapat dijadikan sebagai objek hak angket oleh DPR.
Namun, dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa KPK adalah lembaga penunjang yang dibentuk berdasarkan UU.
Dengan demikian, KPK termasuk ke dalam lembaga eksekutif.
"KPK sebagai lembaga negara yang melaksanakan undang-undang dapat menjadi objek hak angket," kata Arief
Beda pendapat
Dalam putusan ini, ada empat hakim yang menyatakan disssenting opinion atau perbedaan pendapat. Mereka adalah Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra dan Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, keempat hakim tersebut menyatakan bahwa KPK adalah lembaga independen sehingga tak termasuk wilayah eksekutif. Dengan demikian, harusnya DPR tak bisa menggunakan hak angket terhadap KPK.
"Lembaga independen tidak termasuk cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif," kata Hakim Palguna.