TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo belum juga menandatangani Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD ( MD3) yang telah disahkan di DPR RI pada Senin lalu, (12/2/2018).
Bahkan menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Presiden kemungkinan besar tidak akan menandatangani perubahan ke dua atas undang-undang nomor 17 tahun 2014 tersebut yang sejumlah pasalnnya mendapatkan penolakan publik.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan tidak etis apabila presiden tidak menandatangani UU MD3.
Pasalnya Undang-undang tersebut nerupakan hasil pembahasan antara pemerintah dan DPR.
"Ya itu kita standarnya etik lah ya, karena ada yang dijaga oleh hukum, 30 hari akan berlaku. Tapi yang dijaga oleh etik itu adalah bagaimana ia ikut membahas tapi kemudian tidak ikut mengesahkan. Kalau ikut membahas ya harus ikut mengesahkan," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (21/2/2018).
Baca: Auditor Ali Sadli Bacakan Pledoi, Minta Hakim Pertimbangkan Jasa-jasanya kepada BPK
Menurut Fahri pemerintah melalui Menkumham Yasonna Laoly ikut dalam pembahasan UU MD3. Bahkan menurutnya Yassona sangat aktif dan dominal dalam pembahasan.
"Saya yakin Pak Yasonna sebagai mantan anggota DPR berkali-kali, dia paham ini. Dan saya nonton juga itu pembahasannya itu membaca juga notulensinya itu. Pak Yasonna cukup dominan, dia paham dan pikirannya benar," katanya.
Fahri mengaku tidak tahu mengapa presiden menolak UU MD3 yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR. Fahri menduga hal tersebut, karena sulitnya meyakinkan Presiden Jokowi.
"Cuma ini kan meyakinkan Pak Jokowi enggak gampang. Karena Pak Jokowi sendiri tidak gampang dibikin mengerti ya kan? Ini saya bilang berat ini ilmu gitu loh, mesti ada yg bisa meyakinkan bahwa ini berat," katanya.
Sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan Presiden kemungkinan tidak akan menandatangani pengesahan UU MD3. Ketidakmauan tersebut sebagai bentuk protes presiden terhadap sejumlah pasal yang dinilai kontorversial.
Adapaun pasal yang dinilai kontroversial tersebut yakni, pasal 73 ayat 3 dan 4, pasal 122 huruf K, dan pasal 245 ayat 1.
Adapun ketiga pasal tersebut memang menjadi sorotan dalam pembahasan UU MD3:
Pasal 73 UU MD3 menyebutkan polisi wajib membantu memanggil paksa, pihak yang diperiksa DPR. Selain itu pasal 122 huruf K yang dapat mempidanakan mereka yang dianggap merendahkan martabat DPR. Terakhir pasal 245 yang mana pemanggilan anggota dewan harus seizin presiden dengan sebelumnya melalui pertimbangan MKD.