TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bermunculan berbagai kasus serangan terhadap ulama dan pemuka agama, yang bisa menimbulkan keresahan dan dimanfaatkan secara politik oleh berbagai pihak.
Apa yang harus dilakukan polisi?
Kasus terbaru adalah dugaan percobaan serangan terhadap seorang ulama di Madiun, Jatim, Rabu (21/02/2018) dan aparat didesak cepat mengungkap kasus-kasus itu sehingga tidak dimanfaatkan beberapa pihak untuk memecah belah masyarakat.
"Kalau (penyelidikan kasus ini) lama, semua orang akan menungganginya, dan akhirnya akan (kemungkinan menyebabkan) terjadi perpecahan (di masyarakat)," kata mantan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN), As'ad Said Ali, hari Kamis (22/02/2018) kepada BBC Indonesia.
Menurutnya, kemungkinan ada pihak-pihak tertentu yang menunggangi kasus-kasus penganiayaan tokoh agama ini terbukti dengan peredaran informasi bohong (hoaks) di media sosial terkait peristiwa itu yang terungkap belakangan.
"Sekarang sudah ada media sosial yang mempercepat beredarnya (berita hoax) itu," kata As'ad.
Dan apabila belum berhasil mengungkap siapa aktor utamanya, As'ad meminta kepolisian untuk terus-menerus menghimbau kepada masyarakat agar tetap tenang dan tidak terprovokasi kasus-kasus tersebut.
"Yang penting polisi sudah bergerak, sudah berusaha, dan terus menghimbau yang bisa menenangkan rakyat," tandasnya.
Ulama di Madiun mengaku diteror
Kepolisian sebelumnya telah mengakui adanya peristiwa penyerangan terhadap ulama dan pengrusakan tempat ibadah, namun jumlahnya terkonfimasi tidak sebanyak yang disebarkan di media sosial, kata pejabat kepolisian.
Di Jawa Barat, menurut Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin, yang terjadi adalah penganiayaan terhadap KH Umar Basri, pengasuh Pondok pesantren Al Hidayah, Bandung, oleh seseorang yang belum teridentifikasi.
Lainnya, adalah kasus penganiayaan yang menewaskan Usman Prawoto, Komando Brigade Persatuan Islam Bandung, oleh seseorang yang dinyatakan mengalami gangguan jiwa.
Belakangan, di Jawa Timur, pengelola Pondok Pesantren Karangasem, di Paciran, Lamongan, KH Hakam Mubarok juga mengakun diserang oleh pada Minggu (18/02). Dia diserang oleh orang yang menurut polisi "mengalami gangguan jiwa".
Namun saat kepolisian tengah mendalami kasus-kasus ini, belakangan seorang ulama di Madiun, Jatim, mengaku mendapatkan apa yang disebutnya sebagai "teror" terhadap dirinya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MU) kota Madiun, Jatim, Sutoyo, mengaku "diteror" oleh kehadiran seseorang yang masuk ke dalam rumahnya, Rabu (21/02) malam.
"Saya melihat orang itu di depan toko, yang tampak melihat saya, memperhatikan saya, kemudian saya curiga," kata Sutoyo kepada BBC Indonesia.
Sutoyo kemudian menghubungi polisi dan anggota Banser (Barisan Ansor serba guna, organisasi yang berafilisasi kepada NU) untuk meminta bantuan.
Saat petugas kepolisian itu meninggalkan rumahnya, beberapa anggota Banser itu memergoki pria itu "turun dari lantai dua rumah saya", ungkap Sutoyo yang juga menjabat Wakil ketua rois syuriah (dewan penasehat) NU Madiun.
Belakangan, keterangan pejabat kepolisian di Madiun menegaskan, pria itu bernama David Saputra, 35 tahun, diduga memiliki riwayat gangguan jiwa. Polisi setempat berjanji untuk memeriksanya lebih lanjut tentang kondisi kejiwaannya.
'Razia orang-orang yang alami kelainan jiwa'
Dihubungi secara terpisah, Kabid humas Polda Jatim Kombes (Polisi) Frans Barung Mangera mengatakan, kepolisian di Jawa Timur akan melakukan razia terhadap orang-orang yang diidentifikasi mengalami gangguan jiwa di jalanan.
Upaya ini dilakukan menyusul temuan bahwa pelaku penganiayaan dan klaim teror terhadap ulama di wilayah Jatim diduga dilakukan oleh dua orang yang diduga mengalami kelainan jiwa.
"Supaya mereka-mereka ini menjadi perhatian semua, supaya tidak diangkat sebagai isu dalam rangka hal-hal tertentu," kata Frans Barung saat dihubungi BBC Indonesia, Kamis (22/02).
Razia ini dilakukan dengan bekerja dengan kantor dinas sosial setempat dan aparat TNI.
Ditanya lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan "hal-hal tertentu", Frans Barung mengatakan: "Misalnya bahwa ada sesuatu yang sengaja dimainkan dalam rangka mencari ketenaran. mencari publikasi, mencari perhatian."
Bagaimanapun, kepolisian akan terus mendalami kasus klaim teror yang dialami seorang ulama di Madiun dan kasus dugaan penganiayaan seorang ulama di Lamongan, sesuai fakta-fakta hukum yang ditemukan.
"Karena kasus ini sebenarnya adalah kasus yang murni, bahwa ada orang yang kurang ingatannya dan kemudian memasuki hal-hal ruang tertentu yang sifatnya privat," jelasnya.
Dia juga menghimbau masyarakat agar tidak menjadikan dua kasus yang diduga melibatkan "orang yang tidak normal ini" untuk komoditas tertentu.
"Oleh karena itu, kami ingin mengatakan bahwa jangan percaya isu hoaks saja, hubungi kami untuk menjelaskan secara komprehensif," katanya.
'Mirip pembunuhan dukun santet di Banyuwangi 1998'
Lebih lanjut mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara, BIN, As'ad Said Ali mengatakan, kasus-kasus dugaan penganiayaan dan teror terhadap ulama di Jabar dan Jatim ini mirip dengan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi pada 1998.
Belakangan terungkap pembunuhan itu menyasar pula orang-orang yang bukan berlatar dukun, termasuk guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW, demikian sejumlah laporan menyebutkan.
"Itu pernah terjadi dulu, seperti kasus dukun santet di Banyuwangi, yang pakai pola orang gila juga. Karena orang gila tidak bisa diusut, tiba-tiba kasus menjadi hilang," kata As'ad Said Ali, menganalisa.
Kemiripan lainnya, demikian As'ad, peristiwa di Banyuwangi terjadi menjelang peristiwa politik mundurnya Suharto dari kursi Presiden, sementara kasus-kasus dugaan penganiayaan ulama saat ini terjadi menjelang pilkada dan pilpres.
Namun demikian As'ad tidak mau berspekulasi perihal siapa aktor dan motif di balik kasus-kasus penganiayaan terhadap ulama yang terjadi belakangan.
Itulah sebabnya, As'ad meminta, persoalan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian dan kejelasan kasus-kasus tersebut.
"Kalau lama, semua orang akan menunggangi, akhirnya akan terjadi perpecahan. Apalagi sekarang sudah ada media sosial yang mempercepat beredarnya itu," katanya.
Dia juga meminta masyarakat tidak terprovokasi informasi bohong yang beredar di media sosial di balik kasus-kasus tersebut.
"Masyarakat jangan bingung, jangan kaget, dan jangan terpengaruh oleh provokasi semacam itiu, karena ini bukan bagian demokrasi, tapi pengacauan terhadap demokrasi," jelasnya.
'Teror itu justru mempersatukan kami'
Sementara, Ketua MUI kota Madiun, Jatim, Sutoyo, yang mengaku telah "diteror", meminta agar kepolisian mengusut tuntas siapa aktor intelektual di balik kasus-kasus kekerasan yang dialami tokoh agama yang terjadi belakangan.
Menurutnya, upaya teror terhadap dirinya tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah masyarakat, seperti yang terjadi di Banyuwangi dan sekitarnya pada 1998, yaitu kasus pembunuhan dukun santet
"Kalau ada aktor intelektual yang ingin memecah belah (masyarakat), menakut-nakuti, tidak akan berhasil. Kita pada tahun 1998, 1999 pernah diteror 'ninja', kita tidak takut. Sekarang pun kita tidak takut," kata Sutoyo kepada BBC Indonesia, Kamis (22/02)
Sebaliknya, apa yang disebutnya teror terhadap ulama itu justru akan mempersatukanmasyarakat, termasuk persatuan antara ulama dan tokoh agama lain.