TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Desakan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengungkap temuan 13 produk obat yang diduga mengandung bahan baku sejenis atau mirip deoxyribo nucleic acid (DNA) babi makin menguat.
Setelah Ketua DPR bersuara lantang terhadap temuan tersebut, kalangan pengamat kesehatan juga mendesak BPOM agar transparan mengungkap 13 produk berbahan baku DNA babi itu.
Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Luthfi Mardiansyah mendesak BPOM untuk bersikap terbuka, transparan, dan memberikan klarifikasi serta keterangan resmi terkait 13 produk berbahan baku DNA babi.
Menurut dia, sudah selayaknya institusi resmi seperti BPOM memberikan keterbukaan yang jelas dan tegas kepada publik.
“Jika temuan 13 produk enzyme itu valid, BPOM tidak perlu ragu untuk mengungkapnya. Publik akan mengapresiasi kinerja dan temuan BPOM jika ternyata benar,” ujar Luthfi di Jakarta, Kamis (1/3).
Jangan sebaliknya, lanjut dia, keragu-raguan BPOM itu justru menimbulkan keresahan dan mengundang pertanyaan di publik.
Baca: 13 Produk Dicurigai Mengandung DNA Babi, BPOM Semarang Tunggu Hasil Dari Pusat
“Mengapa 13 produk itu tidak diungkap dan seakan ditutup-tutupi. Apakah BPOM tebang pilih? Rakyat perlu pengumuman yang resmi dan mekanisme pengawasan BPOM harus diperketat,” ujarnya.
Menurut Luthfi, ketidakkonsistenan dan sikap keragu-raguan BPOM sebenarnya sudah tampak saat surat internal BPOM yang ditujukan ke produsen obat justru bocor ke sosial media.
"Di sini terlihat BPOM ragu-ragu apakah benar temuan di daerah itu. Belum sempat bereaksi, publik sudah mengetahuinya dahulu lewat media sosial," ujarnya.
Karena itu, lanjut dia, mekanisme fungsi pengawasan dan pembinaan industri obat/farmasi baik oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPOM juga perlu diperbaiki.
Mekanisme pelaporan dan pengawasan produksi secara berkala perlu diperketat dan dijalankan secara benar.
"Jika ada ditemukan kesalahan dalam produk dengan nomor izin edar resmi di pasaran, tentunya BPOM jangan ragu-ragu bertindak secara internal atau pemberian sanksi ke pihak produsen. Dan yang penting, cara berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait perlu diperbaiki, jangan ada surat teguran atau sanksi ke pihak produsen bisa beredar di publik tanpa penjelasan resmi dari BPOM sebelumnya," katanya.
Terkait 13 produk temuan yang mengandung DNA babi, Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf meminta BPOM mempublikasikannya ke masyarakat.
"Jika sudah konfirmasi 100%, selain ditarik dari peredaran juga harus diumumkan ke masyarakat," kata Dede Yusuf.
Komisi IX DPR RI sudah mengagendakan memanggil kembali BPOM dan produsen obat yang mengandung DNA babi.
Baca: BPOM RI: Marak Peredaran Obat dan Makanan Ilegal
"Kami memberi waktu bagi BPOM untuk melakukan penyelidikan mendalam. Mungkin pengungkapan ini dampak dari hasil rapat kerja dengan mereka 2 (dua) minggu lalu," sambungnya.
Polemik ini mencuat saat Kepala BPOM Penny K Lukito membenarkan adanya 13 produk yang memiliki bahan baku mirip atau sama dengan produk yang mengandung DNA babi.
Pernyataan tersebut disampaikan saat ulang tahun BPOM ke-17, di Jakarta Pusat, Minggu (25/2). Namun, BPOM belum mengungkap 13 produk itu secara transparan.
Merespons pernyataan tersebut, Ketua DPR Bambang Soesatyo langsung bersuara.
"Saya meminta Komisi IX DPR mendorong BPOM dan kepolisian untuk menindak tegas para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dapat diberikan sanksi sesuai dengan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen," tegas Bambang Soesatyo.
Tidak itu saja, menurut Ketua DPR, Komisi IX perlu mendorong BPOM bersama kepolisian untuk segera melakukan inspeksi ke sejumlah tempat yang diduga menjual 13 produk dimaksud.
Dia juga meminta Komisi IX agar Kementerian Kesehatan melalui BPOM untuk secara terbuka menginformasikan kepada masyarakat hasil penyelidikan terhadap 13 produk tersebut dan jenis produk lainnya yang mengandung DNA babi, serta menarik produk-produk yang terbukti dari peredaran di pasaran.
"Komisi IX DPR perlu mengimbau para pelaku usaha produk makanan ataupun obat untuk secara detail menginformasikan produk-produk pada kemasan yang dijual bebas di pasar," ujar Bambang.