TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melakukan kajian terkait tahanan rumah untuk terpidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir.
Hal tersebut dilakukan mengingat tidak ada peraturan yang mendukung atau membolehkan seorang narapidana bisa menjalani masa hukuman pidana di dalam kota atau rumah.
Penahanan rumah hanya berlaku bagi seorang tahanan sebagaimana di atur dalam Pasal 22 ayat 2 KUHAP.
Pasar tersebut mengatur, penahanan dilaksanakan di tempat tinggal atau tempat kediamanan tersangka/terdakwa, dengan tetap di bawah pengawasan pihak yang berwenang untuk mengindari segala sesuatu yang akan menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Baca: Tak Pernah Curhat soal Grasi, Baasyir Justru Ceramahi Kepala dan Petugas Lapas Gunung Sindur
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menjelaskan, putusan pengadilan Ba'asyir menyebutkan bukan tahanan rumah, sehingga tidak bisa dipindahkan menjadi tahanan rumah.
"Kalau tahanan kan itu belum berkuatan hukum tetap, ini (Ba'asyir) sudah jelas jenis hukumannya. Ya perlu kita kaji lah, kan beliau dihukum jelas hukumannya," tutur Yasonna di komplek Istana Negara, Jakarta, Senin (5/3/2018).
Menurut Yasonna, Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah membantu dan memfasilitasi terkait pengobatan Ba'asyir di rumah sakit, mengingat kondisi kesehatannya yang menurun.
"Perlu berobat kita kasih, beliau juga ada pendamping berbeda dengan yang lain karena uzur ada selalu ada yang mendampingi beliau, kita betul-betul treat dengan baik lah," ujar Yasonna.
Sementara terkait grasi, kata Yasonna, pemerintah tidak bisa langsung memberikan hal tersebut karena sampai saat ini tidak ada permohonan dari narapidana atau kuasa hukumnya.
"Beliau tidak ada mengajukan grasi, jadi bagaimana kita mau respon, kalau grasi kan dimintakan oleh yang bersangkutan melalui proses, kita mintakan pertimbangan Mahkamah Agung baru Presiden memberikan keputusan," papar Yasonna.
Tahanan rumah merupakan bentuk hukuman oleh pihak berwenang terhadap seseorang dengan membatasi ruang geraknya hanya dalam lingkup tempat tinggalnya saja.
Perjalanan terpidana akan dibatasi, bahkan tidak dizinkan sama sekali, dimana tahanan rumah dianggap sebagai alternatif lunak dari penahanan dalam penjara.
Pada tahun 2004 Abu Bakar Ba’asyir divonis 2,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti terlibat dalam peristiwa pemboman Hotel JW Marriott Jakarta.
Kemudian tahun 2010 ia kembali divonis 15 tahun penjara oleh PN Jaksel karena terbukti ikut merencanakan dan menjadi penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di Pegunungan Jantho, Aceh.