TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum telah beberapa kali berkonsultasi dengan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir perihal keinginannya untuk keluar dari tempatnya menjalani hukuman, Lapas Gunung Sindur Bogor, Jawa Barat, dan bisa menjadi tahanan rumah.
Namun, justru pemerintah berencana memindahkan Baasyir ke lapas lain di Klaten, Jawa Tengah.
Anggota tim penasihat hukum Baasyir, Guntur Fattahillah, menyatakan kliennya akan menolak jika pemerintah sebatas memindahkannya ke lapas lain.
Pasalnya, pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia itu hanya menginginkan untuk menjadi tahanan rumah.
"Artinya, kalau dipindahkan ke lapas lagi, ya sama saja kalau tetap di penjara-penjara juga," ujar Guntur saat dihubungi Tribun, Senin (5/3/2018).
Baca: Kelompok MCA Bermotif Politik, Diduga Ingin Melakukan Kudeta terhadap Pemerintahan Lewat Medsos
Ia mengharapkan pemerintah dapat memahami adanya hak asasi manusia (HAM) yang melekat di setiap warga negara.
Ditambah dengan aturan "Elder Abuse" yang sudah diratifikasi di Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perawatan Tahanan dan Narapidana.
Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menyampaikan keputusan atas adanya usulan dari pihak keluarga dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal kelanjutan nasib Baasyir selaku narapidana kasus terorisme.
Setelah melalui sejumlah pertimbangan dengan pimpinan kementerian dan lembaga terkait kasus terorisme, pemerintah memutuskan akan memindahkan Baasyir dari Lapas Gunung Sindur Bogor ke lapas yang dekat keluarganya di Klaten.
Baca: Mahfud MD Bukan Tak Mau Jadi Cawapres Tapi Tak Ingin
Keputusan ini sekalligus menolak usulan perubahan status hukum Baasyir dari narapidana terorisme menjadi tahanan rumah.
"Nggak," ucap Wiranto sembari mengangkat kelima jarinya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (5/3/2018) sore.
Wiranto mengatakan Ba'asyir masih berstatus narapidana yang harus menjalani sisa masa hukuman pidananya di dalam lapas.
"Kami pertimbangkan bahwa yang bersangkutan juga kami jaga, supaya arti tahanan itu betul-betul punya arti. Tidak menyebarkan ideologinya, tidak kemudian sebebasnya dalam tahanan dan bisa berinteraksi dengan siapa pun dan sebagainya tetap ada aturannya," tegas Wiranto. (Tribun Network/amriyono/coz)