TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cadar menjadi perbicangan dalam beberapa hari terakhir setelah UIN Kalijaga di Yogyakarta melarang mahasiswi mengenakannya di lingkungan kampus.
Banyak yang menentang kebijakan tersebut, tapi Rektor UIN Kalijaga, Yudian Wahyudi, mengatakan pihaknya melihat cadar sebagai salah satu indikasi peningkatan radikalisme.
"Mungkin soal akidah tak ada masalah. Tetapi kalau mereka melakukan ini, sudah banyak kasus di tempat-tempat lain, orang-orang yang didoktrin seperti itu akibatnya hanya akan menjadi korban dari gerakan-gerakan radikal," kata Yudian Wahyudi.
Belakangan, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Waryono, menyatakan pihaknya tidak melarang penggunaan cadar.
Tapi ia menambahkan bawa pihak kampus akan membina mahasiswinya yang menggunakan cadar.
Baca: Ini Kata Ketua DPR soal Larangan Bercadar Di Kampus UIN
Tidak diketahui secara pasti jumlah perempuan Muslim di Indonesia yang mengenakan cadar. Penelitian yang dilakukan lembaga Alvara Research Centre menunjukkan jumlah perempuan di Jakarta yang mengenakan cadar kurang dari 2%, tapi angkanya terus meningkat.
Salah satu yang mengenakan cadar adalah Tyas Ummu Zahid, karyawati perusahaan swasta.
Bagi Tyas, keputusan untuk mengenakan cadar, boleh dikatakan berawal dari 'pengalaman spiritual' pada sekitar 2011.
Tyas merasa kaum perempuan yang bercadar -yang menutup seluruh badan dan wajah, meninggalkan hanya di bagian mata saja yang terbuka- jauh lebih tenang.
"Mereka lebih terjaga auratnya, lebih adem (menenangkan). Kemudian saya mulai mengenakan pakaian-pakaian yang menutup seluruh badan, tapi belum memakai cadar," kata Tyas kepada BBC Indonesia, Rabu (07/03).
Ia memutuskan untuk mengenakan cadar pada 2016 setelah mendapatkan izin dari suami.
Baca: Fadli Zon Sebut Pemakaian Cadar Merupakan Hak Pribadi
Saat dirinya mengenakan cadar ada anggota keluarga yang mempertanyakan. Ada juga yang khawatir ia tidak bisa menjaga tindakan dan akibatnya malah berdampak negatif.
"Saya jelaskan, jangan salahkan cadarnya, jangan salahkan hijabnya. Kalau ada yang memakai cadar tapi tindakannya kurang Islami, yang keliru orangnya bukan cadarnya," kata Tyas.
Tyas merasa nyaman dengan cadar yang ia kenakan meski ia pernah mengalami perlakuan yang tidak mengenakkan.
"Ada yang bilang saya maling, bahkan pernah saya dilempar botol minuman. Menghadapi ini, saya memilih tidak konfrontatif, saya abaikan saja," katanya.
Tapi cadar juga mengantarkannya mendapatkan pekerjaan. "Ada bos yang meminta saya bekerja di perusahaannya. Jadi pekerjaan yang melamar saya."
Dalam Islam ada dua pandangan soal cadar, sebagian ulama mewajibkan sebagian lagi menyatakannya sebagai sunah, yang berarti dianjurkan untuk dilakukan tapi kalau tidak, bukan hal yang menyebabkan dosa.
Faktor eksternal
Ani Indriani, Muslimah di Jakarta mengatakan sudah ingin memakai cadar, cuma belum bisa diwujudkan sepenuhnya karena sang ayah khawatir cadar akan membuat orang beranggapan 'ia menjadi eksklusif'.
"Niat sudah ada ya untuk bercadar, tapi ketika bertemu dengan orang tua, ayah bilang tak usah memakai cadar," kata Ani.
Ani mengatakan mungkin sang ayah tak ingin dirinya dianggap 'eksklusif' akibat cadar yang ia kenakan. Untuk sementara ini, ia memilih 'jalan tengah' dengan memakai masker untuk menutup bagian di bawah mata hingga ke dagu.
Sama seperti Tyas, Ani juga mengatakan niat memakai cadar lebih didasari oleh faktor pengalaman spiritual, selain juga karena ajaran agama.
"Itu berawal ketika saya umrah dan melihat banyak perempuan yang mengenakan cadar. Saya melihat kok mereka sepertinya tenang, jauh lebih nyaman," kata Ani.
Dari pengalaman pribadinya, bisa dikatakan menutup seluruh wajah dan hanya menyisakan bagian mata, membuatnya jauh lebih nyaman dan lebih dekat ke Tuhan.
"Enak banget ke mana-mana dengan menutup wajah," imbuhnya.
Ia tidak setuju jika cadar dikaitkan dengan radikalisme atau ekstremisme.
Ia berpandangan kaitan cadar dengan radikalisme mungkin efek dari pemberitaan media yang memperlihatkan hampir semua istri tersangka teroris mengenakan cadar.
"Itu mungkin yang membuat orang-orang berpandangan negatif terhadap perempuan yang memakai cadar," katanya.
Pengaruh demokratisasi dan keterbukaan
Pengamat dari Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan makin banyaknya kaum perempuan di Indonesia yang bercadar tak dilepaskan dari proses demokratisasi yang berkembang.
"Ketika sistem politik lebih terbuka, munculnya kelompok-kelompok yang mengekspresikan keagamaannya secara lebih beragam itu menjadi hal yang wajar," kata Hurriyah.
Faktor kedua, kata Hurriyah, adalah aspek penerimaan sosial dari masyarakat. Perkembangan Islam di Indonesia saat ini sangat dinamis, sementara di sisi lain informasi baik dari dalam maupun luar negeri terbuka sangat luas.
"Nah ini juga memberikan pengaruh. Ini membuat orang menjadi makin terbiasa dengan berbagai macam ekspresi keagamaan, termasuk pemakaian cadar," urai Hurriyah.
Ia memberi contoh grup Niqab Squad yang ada di Facebook, yang mewadahi kegiatan Muslimah bercadar. Pada tahap awal, anggotanya sekitar 150 orang, kini dilaporkan mencapai lebih dari 3.000.
"Jadi, orang makin nyaman mengekspresikan keagamaan mereka," katanya.
Dan ini bukan hanya soal cadar. Ia melihat orang-orang sekarang makin nyaman mengekspresikan untuk hal-hal lain.
Hurriyah tidak setuju dengan pandangan bahwa makin banyaknya kaum perempuan yang bercadar menunjukkan Indonesia 'makin konservatif'.
"Gejala ke-Islaman di Indonesia sangat beragam. Tren sekarang ini orang lebih terbuka memperlihatkan religiusitas mereka."