Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) ramai dibicarakan publik karena beberapa pasal yang kontroversial, seperti pasal 122 tentang pengambilan langkah hukum terhadap orang yang merendahkan DPR atau anggota DPR.
Pasal ini dinilai antikritik dan berpotensi praktik kriminalisasi terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR.
"Ini kan bahasa merendahkan sumir, apa merendahkan termasuk kritikan. Apa kritik melemahkan DPR? Itu kan bagian gimana lebih baik ke depannya, kita tidak bisa tahu sendiri," kata Anggota Baleg DPRI RI dari fraksi PPP, M. Iqbal pada diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (25/3/2018).
Baca: Novanto Sebut Nama Baru Terkait Proyek KTP-el, Golkar Minta KPK Tidak Tebang Pilih
Iqbal mengatakan kritikan adalah bagian penting dari demokrasi. Hal ini dianggap dapat memajukan DPR ke arah yang lebih baik. Membatasi hak rakyat berpendapat, menurut Iqbal, tidak sesuai dengan era reformasi.
"Kita tahu sejak orde baru kita tidak boleh berpendapat atau mengritik. Tapi setelah reformasi kedaulatan di rakyat bebas berpendapat. Jangan sampai adanya pasal ini kita kembali ke orde baru," tutur Iqbal.
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan surat putusan Nomor 03 tahun 2016 untuk mencabut pasal kritikan terhadap Presiden. Dengan begitu, pasal 122 huruf I UU MD3 dinilai tidak sesuai dengan semangat demokrasi.
Baca: Membaca Gestur Jokowi dengan Airlangga Saat Olahraga Bersama di Tahun Politik
"Mk sudah putuskan mencabut pasal kritikan kepada presiden. Jadi jangan sampai pasal ini multitafsir, kata merendahkan jelas masih sumir," ucap Iqbal.
Iqbal mengatakan PPP akan tetap memperjuangkan agar UU MD3 sesuai dengan kehendak rakyat.
"Kami ini ikhtiar untuk laksanakan judicial review. Masyarakat juga sudah uji materi semoga MK mengabulkan," pungkas Iqbal.