Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman, meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, mencari solusi mengatasi kenaikan harga bahan bakar minyak.
Untuk mengantisipasi persoalan yang akan timbul dari naiknya harga BBM itu, menurut Jajang Nurjaman, kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah provinsi adalah, menurunkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor atau (PBBKB).
Baca: Sebelum Tewas Dalam Kebakaran, Jok Nam Sempat Keluar Rumah Tapi Kembali Masuk Demi Selamatkan Anjing
Dalam hal ini, peran Mendagri diperlukan dalam memberikan instruksi kepada pemerintah provinsi.
PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak atau harga BBM jenis Pertalite sebesar Rp 200 per liter.
Kenaikan harga itu berlaku di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) seluruh Indonesia.
Harga jual Pertalite per 24 Maret 2018, di DKI Jakarta menjadi sebesar Rp 7.800 per liter.
Sementara di provinsi lainnya berkisar Rp 7.800 sampai Rp 8.150 per liter.
Baca: Sebelum Tewas Dalam Kebakaran, Jok Nam Sempat Keluar Rumah Tapi Kembali Masuk Demi Selamatkan Anjing
"Hal ini sebagai langkah yang paling bijak dan memungkinkan dilakukan pemerintah provinsi di tengah-tengah kesulitan warganya," ujar Jajang, Jumat (30/3/2018).
Menurut dia, langkah positif Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau dengan rencana menurunkan PBBKB sebagai contoh untuk daerah-daerah lainnya, meskipun sebelumnya PBBKB Riau dua kali lipat dibandingkan provinsi lain (sebesar 10 persen).
Namun dengan adanya kenaikan BBM Pertalite, pemerintah daerah ini mengambil langkah baik.
Diharapkan kebijakan final yang diambil Pemprov Riau bisa mengurangi PBBKB di bawah 3 persen.
Baca: Peneliti LIPI Sarankan Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD
"Tentu yang merasakan dampak dari naiknya BBM jenis Pertalite bukan hanya warga Riau, masyarakat di daerah lainnya merasakan dampak kenaikan. Dengan kondisi ini, pemerintah provinsi wajib hadir dengan mengambil sikap bijak yakni menurunkan PBBKB yang sebelumnya sebesar 5 persen menjadi 3 persen atau di bawahnya," kata dia.
Menurunkan PBBKB, kata dia, pemerintah provinsi tidak perlu khawatir dan menjadikan alasan enggannya menurunkan PBBKB karena takut Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurun.
Faktanya selain PBBKB masih banyak sumber pendapatan lain yang dapat dimaksimalkan. Sumber pendapatan lain itu, seperti Pajak kendaraan bermotor, Bea balik nama kendaraan bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok. Belum lagi retribusi, serta PAD lain-lain yang sah.
"Selain fakta di atas, hingga saat ini seluruh pemerintah daerah masih mengandalkan kebutuhan belanjanya dari pemerintah pusat Bukan PAD," ujarnya.
Bahkan untuk urusan berkaitan langsung bagi masyarakat contohnya dana pendidikan, hanya Provinsi DKI Jakarta yang sanggup menganggarkan dana pendidikan sampai 20 persen dari PAD. Provinsi lainnya sebagian besar di bawah 5 persen dari PAD.
Belum lagi fakta di mana sebagian besar dana APBD habis untuk pos anggaran tidak produktif. contohnya data di tahun 2016, APBD seluruh provinsi 70,9 persen dihabiskan untuk belanja pegawai.
Melihat fakta-fakta di atas, CBA meminta Kemendagri tidak ragu-ragu mendorong dan menginstruksikan pemerintah provinsi agar merevisi kebijakan terkait pajak daerah yakni menurunkan pajak bahan bakar kendaraan bermotor paling tinggi 3 persen.