Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono menilai, rencana pemerintah menurunkan tarif tol bagi kendaraan jenis truk di 39 ruas tol, belum efektif untuk memangkas biaya angkutan logistik.
Idealnya, masyarakat sebagai konsumen pengguna jalan tol dilibatkan dalam penetapan tarif tol yang dicap termahal di Asia Tenggara saat ini.
“Dalam UU dikatakan, semua penetapan jalan tol harus melibatkan unsur masyarakat sebagai pengguna, sehingga jalan tol dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mendorong roda perekonomian negara,” papar Bambang kepada Parlementaria di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Ia menjelaskan, dalam aplikasinya, jalan tol merupakan salah satu kunci perekonomian suatu negara. Selain untuk memperlancar lalu lintas, jalan tol juga membawa pertumbuhan ekonomi yang begitu besar. Ini karena tol dimanfaatkan sebagai transportasi logistik.
Namun realitanya, banyak ruas tol yang dibangun Pemerintahan Jokowi tidak dimanfaatkan oleh pengguna angkutan logistik. Hanya 1 persen yang dimanfaatkan angkutan logistik, sementara 99 persen lainnya masih dimanfaatkan angkutan pribadi.
Tol Surabaya-Kertosono, sambung Bambang, hanya dilalui truk pengangkut logistik sebanyak 1-2 saja. Beda halnya, dengan tol Jakarta-Cikampek yang dibangun jauh sebelum Pemerintahan Jokowi, ternyata 90 persen dilalui truk logistik.
“Tol kita ada dua macam, satu tol yang dibangun pada era Pak Jokowi dan satunya lagi dibangun sebelum era Jokowi. Kalau kita perhatikan tarifnya jauh berbeda. Yang dibangun Pak Jokowi bisa 2-5 kali lipat lebih mahal. Di era Pak Harto, tol kita termurah se-Asia Tenggara. Tapi, saat ini yang termahal,” paparnya.
Akibatnya, jalan tol tidak diminati oleh masyarakat, khususnya angkutan logistik serta transportasi publik massal. Ia pun mengimbau pemerintah untuk menerapkan tarif tol yang berkeadilan, sehingga dapat membawa manfaat serta mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat di tengah penurunan daya beli masyarakat saat ini.
Politisi dari F-Gerindra ini juga tidak ingin penurunan tarif tol justru dibarengi dengan perpanjangan konsensi jalan tol menjadi 50 tahun dari rata-rata kisaran 35-40 tahun. Menurutnya, perhitungan kelayakan lama waktu Build, Operate, Transfer (BOT) perlu melibatkan pihak independen, seperti YLKI, akademisi, dan konsultan publik.
“Jika perlu libatkan juga KPPU, KPK, dan BPK untuk menghitung ulang kelayakan BOT dan tarif tol di Indonesia,” tandas politisi dapil Jawa Timur I ini.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Laporan Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017, menyebutkan BPK masih menemukan sejumlah permasalahan dalam kebijakan tarif dan pengelolaan operasional jalan tol yang dijalankan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).
Setidaknya, ada empat laporan yang membuat kegiatan pengelolaan jalan tol masih belum efektif, mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi.(*)