TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pipa minyak Pertamina mengalami kebocoran di perairan Teluk Balikpapan.
Akibatnya, minyak yang tumpah di sana menyebabkan kerusakan lingkungan hidup serta menganggu aktivitas masyarakat di sekitar.
Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menyayangkan hal yang sudah berulang kali terjadi ini. Ia pun meminta adanya investigasi guna memastikan penyebab bocornya minyak tersebut.
"Sudah yang ke sekian kalinya kejadian serupa terulang. Agar hal ini tidak terulang kembali ke depan, harus ada investigasi untuk memastikan apa penyebab kejadian ini, apakah murni kecelakaan atau ada unsur kualitas pipa yang sudah tidak layak," ujar Sukamta, melalui pesan singkat, Selasa (10/4/2018).
Menurutnya, selain investigasi, diperlukan audit infrastruktur dari pihak Pertamina. Hal ini, kata dia, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pipa yang bocor tersebut masih layak operasional atau tidak.
"Karena itu, juga perlu diaudit infrastruktur Pertamina termasuk pipa minyak ini. Apakah yang dipakai masih layak operasional semua ataukah tidak," ungkap Sekretaris Fraksi PKS ini.
Lebih lanjut, doktor lulusan Chemical Engineering di Salford University, Manchester ini juga mengingatkan bahwa kebocoran pipa minyak ini persoalan serius.
Dampak kebocoran ini, jelasnya, bukan cuma lingkungan hidup saja, tapi juga merembet ke hal yang lain, seperti Hutan mangrove tercemar hingga Kariangau, selain di Kampung Atas Air Margasari dan di Penajam.
Ia juga menyebut ribuan orang terdampak baik secara ekonomi maupun kesehatan. Nelayan, lanjutnya, tidak bisa melaut dan banyak warga sekitar yang tidak tahan mencium bau minyak mengalami sesak napas, mual, dan muntah.
Apalagi berdasar info dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas tumpahan minyak mencapai 7.000 hektare. Pantai yang tercemar di sisi Balikpapan dan Penajam Paser Utara hingga 60 kilometer.
“Saya juga mendorong agar hukum ditegakkan, sanksi harus diberikan sesuai perarturan/perundang-undangan, agar memberi efek jera. Terlebih minyak itu termasuk limbah B3. Persoalan ini diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 88 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang tindakananya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan,” katanya.