Pendidikan Karakter perlu terus ditingkatkan untuk menciptakan siswa dan siswi yang kaya akan kreativitas dan inovasi dalam karya-karya yang bermanfaat.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra saat memimpin Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI meninjau Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 4 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Senin (30/4/2018).
“Kami melihat kreativitas serta inovasi siswa di Tanjung Pinang cukup baik. Ini menunjukkan pendidikan karakter yang diusung Kemendikbud berjalan sesuai dengan tujuan,” ungkap Sutan.
Dijelaskan Sutan, siswa SMAN 4 Tanjung Pinang dengan kreatif membuat karya berupa alat daur ulang plastik yang bisa dimanfaatkan menjadi barang yang berguna. Ia menilai, inovasi yang dilakukan siswa itu karena sekolah di Tanjung Pinang itu sudah menerapkan pendidikan karakter dengan cukup baik.
“Ini yang harus didorong. Bagaimana siswa bisa terus berkarya dan menjadi entrepreneurship sejati,” harap politisi Partai Gerindra itu.
Selain itu, persoalan yang cukup menjadi perhatian Sutan adalah masih banyak tenaga pengajar berstatus honorer yang diberdayakan. Oleh karena itu, pihaknya akan berupaya membahas hal ini ke kementerian terkait, agar ke depan tenaga honorer ini bisa diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Kami akan upayakan mendiskusikan ini ke Kementerian terkait,” ujar politisi daerah pemilihan Jambi itu.
Dijelaskan Sutan, Komisi X DPR telah membentuk Panja Standar Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah. Dari hasil Panja, ditemukan ada banyak kendala dalam pencapaian standar, yaitu standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, dan standar pengelolaan.
Permasalahan dalam pencapaian standar sarana dan prasarana, tercatat data bahwa dari 1.833.000 ruang kelas di seluruh Indonesia, hanya 470.000 ribu ruang kelas dalam kondisi baik (hanya 26 persen), dan hanya 50 persen sekolah yang memiliki alat peraga pendidikan.
Sementara, untuk standar pendidik dan tenaga kependidikan, masalah utama adalah kekurangan guru untuk mengisi guru yang akan pensiun pada 2018-2021 sebanyak 256.950 guru. Di sisi lain, permasalahan guru honorer yang mengajar di sekolah menurut data Kemendikbud sebanyak 736 ribu guru juga harus segera diselesaikan.
Sutan menambahkan, pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari kabupaten/kota ke pemerintah provinsi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, juga berdampak pada standar pengelolaan di satuan pendidikan, utamanya terkait kualitas guru dan pembiayaan pendidikan.
“Pemindahan status ASN dari pegawai kabupaten dan kota menjadi pegawai provinsi membutuhkan koordinasi yang baik dan waktu yang sesuai. Rentang kendali yang cukup panjang dari kabupaten dan kota ke provinsi dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan lanjutan atau dampak yang merugikan pegawai, baik dari sisi kompetensi maupun psikologi,” jelasnya.
Persoalan lainnya adalah posisi guru bantu. Persoalan guru bantu yang digaji APBD provinsi dan APBD kabupaten atau kota harus segera diselesaikan, sebab pengangkatan mereka sebagai guru bantu merupakan kebijakan sementara untuk memenuhi kekurangan guru yang berstatus ASN.
Hal yang sama juga terjadi pada guru honorer. Kepastian hal ini apabila tidak dapat diselesaikan tentu akan mempengaruhi proses pembelajaran.
“Dana APBD provinsi untuk pendidikan menengah dikhawatirkan tidak mencukupi untuk menutupi penyelenggaraan pendidikan menengah, sehingga dimungkinkan ada penarikan biaya ke murid-murid SMA dan SMK. Dampak lanjutannya adalah kenaikan angka putus sekolah,” tuturnya.
Memperhatikan berbagai hal tersebut, pendidikan perlu mendapat perhatian serius, seksama, dan kesadaran semua pihak dalam membenahi dan memajukan pendidikan. Apalagi, anggaran pendidikan cukup besar.
Untuk tahun 2018, mencapai 20 persen dari total belanja negara sebesar Rp2.204 triliun, yaitu sebesar Rp441 triliun. Bahkan, selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir tidak kurang dari Rp3.500 triliun untuk anggaran pendidikan.(*)