TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dr R Agus Trihatmoko SE MBA MM, dari Universitas Surakarta menjadi saksi ahli dari pihak pemohon pada sidang judicial review UU BUMN dengan No. Perkara ; 14/PUU-XVI/2018 yang diajukan pemohon AM Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakari.
Agus, di hadapan para hakim MK di Jakarta, Rabu (2/5/2018), menegaskan Kementerian BUMN mengakui terdapat 22 kelemahan dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk di dalamnya poin “Maksud dan Tujuan Pendirian BUMN”, yang merupakan salah satu poin penting yang dipermasalahkan pemohon uji materi.
Karena itu, Agus meminta, pengakuan kelemahan itu oleh hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutuskan permohonan.
Pengakuan ke-22 kelemahan UU BUMN tersebut diungkapkan Agus Trihatmoko dengan mengutip pernyataan Staf Ahli Menteri BUMN Bidang SDM dan Teknologi Wahyu Hidayat dalam seminar “RUU Perubahan UU BUMN” di Hotel Aryaduta di Jakarta, pada 4 April 2011.
Pengakuan adanya kelemahan-kelemahan UU BUMN itu, dijelaskan Agus Trihatmoko lebih lanjut, juga diungkapkan Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN RI, Hambra SH, MH dalam Seminar “Quo Vadis BUMN?” Bali pada 19 – 20 April 2018 di Bali.
“Pada tahun 2011, Kementerian BUMN mencatat adanya 22 kelemahan UU BUMN, yang menurut saya sebaiknya dilaporkan kepada Presiden pada waktu itu. Kelemahan itu pada April 2018 juga diakui lagi oleh Kementerian BUMN. Saya belum tahu, apakah kelemahan-kelemahan itu juga dilaporkan kepada Presiden untuk mengantisipasi berbagai hal dalam menjalankan pemerintahan ? Setidaknya kelemahan itu secara publik telah diungkapkan Kementerian BUMN sejak tahun 2011,” ujar Dosen Universitas Surakarta itu kepada media setelah sidang MK.
Dalam kesaksian tertulisnya, Agus mengurai ke-22 kelemahan UU BUMN yakni:
1. Pengertian kekayaan negara yang dipisahkan,
2. Modal perum tidak terbagi atas saham,
3. Pengertian Menteri. Maksudnya, menimbulkan kerancuan karena secara prinsip kedudukan menteri dapat sebagai pemegang saham dan sekaligus sebagai pejabat publik,
4. Rumusan pengertian persero,
5. Istilah Privatisasi. Maksudnya, privatisasi diartikan sebagai penyerahan kepemilikan saham kepada masyarakat. Hal ini kurang sejalan dengan protokol pasar modal yang mengartikan go private sebagai pengembalian saham,
6. Maksud dan tujuan pendirian BUMN
7. Perlakuan khusus terhadap BUMN dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang ikut mengatur BUMN,
8. Sumber penyertaan modal negara terhadap BUMN,
9. Penegasan pemberlakuan sistem pengelolaan PT terhadap pengelolaan Persero,
10. Penegasan menteri sebagai wakil negara selaku pemegang saham,
11. Calon anggota direksi dan internal perusahaan,
12. Larangan jabatan rangkap dalam kampanye pemilu,
13. Banyak ketidakjelasan dalam pengaturan perum,
14. Saham BUMN menjadi penyertaan modal pemerintah pusat dalam rangka pendirian BUMN,
15. Penetapan unit instansi pemerintah sebagai BUMN,
16. Ketentuan PSO (Public Service Obligation),
17. Pemeriksaan eksternal.
18. Karyawan BUMN yang diangkat menjadi direksi,
19. Kedudukan direksi, dewan komisaris, Dewan pengawas dan karyawan bukan sebagai penyelenggara negara dan pemerintah,
20. Penegasan piutang BUMN, bukan piutang negara,
21. Sinergi BUMN, dimana dalam UU BUMN belum mengatur masalah ini,
22. Permohonan pailit terhadap BUMN
Sementara itu, Agus mengutip paparan Hambra dalam seminar di Bali yang mengungkapkan kelemahan UU BUMN yang mengatakan,
1. Mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU No. 19 Tahun 2003 sehingga pengelolaan, pengawasan, dan pembinaan dapat berjalan lebih optimal;
2. Mengatasi tumpang tindih berbagai peraturan perundang-undangan yang menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan, pengawasan, dan pembinaan BUMN;
3. Mengatasi kelemahan pengelolaan, pengawasan, dan pembinaan BUMN yang terjadi selama ini;
4. Menambah beberapa aturan-aturan baru yang mendasar dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja dan integritas, profesionalitas, serta akuntabilitas dalam sistem pengelolaan, pengawasan, dan pembinaan;
Terkait dengan Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b) tentang Tujuan dan Pendirian BUMN serta Pasal 4 ayat 4 tentang perubahan penyertaan keuangan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, yang oleh AM Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dinilai perlu direvisi karena tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, Agus mengatakan dapat diuji dengan menggunakan beberapa ukuran yakni Arah Paradigma, Asas-Asas, Kekuatan, Tumpuan, Pusat Kekuatan dan Orientasi.
Terkait dengan dua pasal tersebut, Agus Trihatmoko mengatakan
• Pasal 2 ayat 1 (a) : ... penerimaan negara pada khususnya: bahwa sesungguhnya negara memiliki orientasi untuk mengeksploitasi ekonomi melalui peran “BUMN” yang setara atau tidak ubahnya seperti kelompok homo-economicusism yang bersifat individualistik “pemerintah yaitu APBN”. Pada poin ini bertentangan dengan sifat emansipasi dan partisipasi setiap elemen pelaku ekonomi “masyarakat” secara filosofis pada asas kekeluargaan dan kebersamaan.
• Pasal 2 ayat 1 (b): mengejar keuntungan ...: bahwa BUMN itu sendiri lebih mengutamakan orientasinya pada keuntungan atas pemodalan “kapitalistik” melalui kemilikan bisnis “kelompok” pemerintah. Pada poin ini bertentangan dengan sifat yang beorientasi kepada kepemilikan publik “rakyat”. Dalam hal kepemilikan publik atas saham pada perusahaan terbuka (Tbk).
UU BUMN, menurut Agus, telah digunakan oleh Pemerintah melalui Kementrian BUMN dan Keuangan dalam kewenangan manajemennya “secara subjektif” yaitu melakukan holdingisasi BUMN. Menurut pandangan Agus, sangat terang dan gamblang isu holdingisasi BUMN oleh pihak Kementerian BUMN sebagai kebijakan strategis untuk meningkatkan rasio kapital secara konsolidasi holding.
“Mengejar keuntungan inilah yang menjadi dasar dari holdingisasi. Kecenderungan yang terjadi adalah, holdingisasi ini akan membuka potensi negara kehilangan pengawasannya karena sebuah persero yang tadinya adalah BUMN akhirnya menjadi anak perusahaan dari induk perusahaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang bisa menjamin bahwa pada suatu hari anak perusahaan yang bukan BUMN lagi ini, dengan berbagai pertimbangan, kemudian dijual? Mungkin pada saat ini, pemerintah bisa menjamin tidak akan dijual, tetapi kalau pemerintahan baru kemudian menjualnya ? Siapa yang akan bertanggung jawab ?” tanya Dosen dari Universitas Surakarta ini.
Karena itu, Agus menegaskan bahwa pasal 4 ayat 4 itu tidak boleh diatur dengan Peraturan Pemerintah tetapi wewenangnya harus dikembalikan kepada DPR untuk mengawasi. Untuk mewujudkan Pasal 33 UUD NRI 1945, Agus Trihatmoko mengusulkan agar negara menggunakan konsep Indonesia Raya Incorporated (IRI) yang digagas oleh AM Putut Prabantoro.
Alasan digunakan IRI adalah dirinya telah mengadakan riset secara akademis tentang konsep pemerataan kemakmuran itu dan sekaligus menerbitkan dalam bentuk buku berjudul “The Concept of Indonesia Raya Incorporated (IRI) – Studies of Grounded Theory on State Asset Ownership Management”.