TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Target Kementerian Kesehatan terhadap pertumbuhan industri alat kesehatan (alkes) mencapai 25 persen di 2030 sulit tercapai.
Pasalnya, pelaku industri alkes dihadapkan pada tekanan harga jual hingga di bawah harga pokok penjualan (HPP) atau Cost of Goods Sold (COGS), terutama untuk produk alkes impor yang masuk dalam E-Catalog pemerintah yang dikelola LKPP.
Saat ini sejumlah alkes impor yang masuk dalam daftar E-Catalog ditawar secara beragam oleh LKPP mulai dari 1.3 dan ada pula alkes yang ditawar berbeda pada harga 1.6 dari harga wajar pabeanan (HPP/COGS).
Ketua Umum Gakeslab Indonesia, H. Sugihadi, mengatakan harga wajar pabean atau HPP Alkes berada di level 1.4 atau 40% dari harga pokok saat membeli dari eksportir di luar negeri.
Biaya importasi tersebut mencakup asuransi, freight forwarding, pajak bea masuk, PPN Impor, PPNBM, PPh 22, biaya administrasi bank, serta jasa transportasi dan asuransi.
"Ini biaya yang kami keluarkan sejak barang keluar dari gudang eksportir hingga tiba di gudang penyimpanan di dalam negeri. Ketemu angka 1.4 untuk biaya pabean dalam kegiatan importasi alkes tersebut," katanya, Jumat (5/5/2018).
Baca: Siloam Hospitals Group dan PT Philips MoU Terkait Pemeliharaan Alat Kesehatan
Jadi, kata dia kalau dalam E-Catalog ditawar lagi di bawah harga HPP tentu itu bisa mengganggu mutu alkes, karena saking murahnya harga alkes, maka barang yang dipakai rumah sakit rendah mutunya.
"Ini buruk bagi pelayanan di rumah sakit dan kesehatan pasien. Ini yang terus kita negosiasikan dengan LKPP bersama pihak Kemenkes," kata Sugihadi.
Jonker Hamonangan Ketua Asosiasi Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (Asakindo) menambahkan, pembentuk harga jual Alkes yang wajar tidak hanya biaya importasi.
"Tetapi harus juga memenuhi aturan yang berlaku seperti Ijin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK), Ijin Edar, Cara Distribusi Alat Kesehatan Yang Baik (CDAKB), dan aturan-aturan standarisasi lainnya demi memastikan mutu, keamanan dan kemanfaatan produk yang memang seharusnya menjadikan prioritas utama dari industri Alkes," katanya.
Jadi yang dinegosiasi, kata dia hanya barang yang sudah dibuka dalam E-Catalog, sementara kita sudah melakukan importasi sejak satu-dua tahun yang lalu.
"Resiko kita memang tinggi, biaya yang kita tanggung tidak sesuai dalam E-Catalog," katanya.
Lantas berapa harga wajar yang kita harapkan? Kalau untuk alkes habis pakai kewajarannya di angka 1.95.
Baca: Kementerian Kesehatan Keberatan Ada Sertifikasi Halal untuk Obat
Sementara alkes yang perlu edukasi, distribusi, dan instralasi khusus, harganya sekitar 2.4.
"Kalau sudah di angka tersebut, kami pengusaha alkes baru bisa penuhi permintaan pemerintah mencapai pertumbuhan yang tinggi, mutu terjaga, dan kesehatan pasien terjamin," kata Kartono.
Berdasarkan data Gakeslab, sejauh ini, baru 16.667 nomor ijin edar produk alkes yang terdaftar di e-katalog dari kurang lebih 250.000 nomor ijin produk alkes yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
Menurut Sugihadi, ini juga terkait dengan keterbatasan proses pendaftaran alkes ke dalam e-katalog, ditambah waktu registrasi yang tidak terjadwal secara pasti, dan mekanisme penawaran harga yang tidak wajar.
Anggota Gakeslab itu ada 400-an tetapi produk mereka yang masuk E-Catalog baru sepertiga.
"Kita harapkan akan terus bertambah ke depan sejalan dengan negosiasi harga wajar. Karena produk alkes anggota kami saat ini telah mengadopsi program dari KPK, Profesional Berintegritas (PROFIT), jadi kami mendukung pemerintah melalui sistem pengadaan elektronik oleh LKPP. Tetapi kami minta pertimbangan LKPP, karena produk alkes murah belum tentu mutu terjaga. Dan kalau di tawar di bawah harga wajar, kita himbau anggota untuk menolak, jelas Sugihadi.
Rd. Kartono Dwidjosewojo, Ketua Gakeslab DKI Jakarta, menjelaskan, tuntutan harga wajar untuk produk alkes karena pelaku industri alkes telah menjalani standar perijinan yang ketat seperri IPK, CDAKB, dan smua hrs terdaftar AKL, AKD.
"Ada juga untuk E-Katalog, kita haris impor dulu dan itu belum tentu laku juga. Memang kalau 10 batang kita masuk E-Catalog, 10 barang itu harua impor. Repotnya kalau dari 10 barang itu cuma 6 kategori saja yang dibuka sementara sudah kita impor 1-2 tahun sebelumnya. Bisa sia-sia modal kita,' tegas Kartono.
Sugihadi menambahkan, dengan kondisi saat ini dimana pertumbuhan industri alkes baru 5 persen, maka untuk mencapai target pemerintah dengan pertumbuhan 25 persen di 2030 akan menjadi tugas berat bagi pelaku industri.
"Kalau usaha kami sangat minimal untuk berkembang, bagaimana kita bisa berubah dari importir ke produsen," ujar Sugihadi.