News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Doktrin Radikalisme Bisa Diakses di Ponsel, Ini Kata Pakar Cyber Security ITB

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah personil Brimob bersenjata melakukan siaga didapen Gereja katolik Santa Perawan Maria Diangkat Kesurga di Jl Tupai, Mamajang, Makassar, Sulsel, Senin (14/5/2018). Pasca ledakan bom di tiga di Gereja di Kota Surabaya Jawa Timur, Minggu (13/5/2018), Polda Sulawesi Selatan memperketat pengamanan di sejumlah tempat ibadah, bandara, dan objek vital. TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR

Laporan Wartawan Tribun Jabar Mega Nugraha Sukarna

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG -- Doktrin radikalisme mengatas namakan agama kini bisa mudah diakses di beragam media sosial.

Dua perempuan yang hendak menyerang polisi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, satu diantaranya Siska Nur Azizah (22), mendapat pemahaman radikalismenya lewat jejaring internet.

Bahkan, menurut berita acara pemeriksaan (BAP) yang bocor, ia membai'at kan dirinya pada pimpinan ISIS, Abu Bakr Al‎-Bagdadi hanya lewat ponselnya dengan cara membaca. Artinya, pemahaman radikalisme bisa diakses di ponsel setiap orang.

Pakar cyber security Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Rahardjo berpendapat, kemajuan teknologi informasi meniscayakan beragam hal. Termasuk doktrin radikalisme yang bisa diakses via media sosial.

"Kita tidak bisa menyalahkan teknologi. Yang bisa kita lakukan adalah edukasi, yang tidak hanya di sekolah tapi dimanapun dengan mengajarkan apa yang seharusnya dan bagaimana yang tidak seharusnya. Kemudian, memanfaatkan teknologi dengan penuh kesadaran, membuang yang tidak bermanfaat," kata Budi via ponselnya, Selasa (15/5/2018).

Revolusi teknologi yang melahirkan sistem operasi android membuat manusia bisa mengakses berbagai hal di ponselnya. Beragam aplikasi bisa diunduh dan dimanfaatkan di ponsel setiap orang. Hanya saja, berkaca pada kasus Siska, tidak jarang informasi digital yang menyebar via pesan-pesan di aplikasi digital justru memuat informasi negatif, sebut saja radikalisme.

"Secara teknis pemerintah tidak bisa intervensi. Kalaupun pemerintah mengintervensi dengan mengontrol aktifitas warganya di ponsel saya yakin semua tidak akan setuju karena itu menyangkut privasi," kata Budi.

Meski begitu, ia tidak memungkiri media sosial apapun yang ada saat ini jadi media untuk pembinaan untuk mengenal radikalisme.

"Pemahaman saya dengan banyak praktisi lain, bahwa ‎media sosial bukan untuk koordinasi soal radikalisme tapi soal pembinaan (radikalisme)," kata Budi.

Sehingga, menurutnya, pendidikan adalah satu-satunya ‎cara untuk menangkal radikalisme lewat media apapun. "Jika anda melihat tulisan-tulisan mencurigakan di media sosial whats app, Facebook, web atau apapun, tegur atau laporkan. Jangan terima informasi digital mentah-mentah," kata Budi. (Mega Nugraha)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini