TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan pihaknya menduga ada maladministrasi dalam penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
"Ini diterbitkan dengan kondisi yang maladministrasi kalau istilah di sini terjadi cacat prosedur atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya," ujar Boyamin di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (30/5/2018).
Ia pun menyebut setidaknya ada enam poin yang dinilainya bermasalah dalam Perpres tersebut.
Poin pertama merujuk pada pasal 3 yang dinyatakan hak keuangan pimpinan, pejabat dan pegawai BPIP berlaku mundur sejak terbitnya Perpres 54 tahun 2017 tentang UKP-PIP.
"Suatu produk peraturan keuangan tidak boieh berlaku surut. Setidak-tidaknya jika dipaksakan berlaku surut, maka hanya boleh diterapkan pada tahun 2018 sesuai APBN 2018, karena pencairan keuangan negara dibatasi hanya untuk tahun berjalan," kata dia.
Poin kedua yakni terkait pemberian hak keuangan kepada dewan pengarah dalam pasal 1, 2 dan 3, dinilainya belum memiliki dasar pembentukan berdasar suatu undang-undang, seperti bagaimana penasihat KPK dibentuk dan amanah UU KPK.
Kemudian, Boyamin mengatakan poon ketiga terkait pasal 4 ayat 2 poin a, dimana ketua dan anggota dewan pengarah diberikan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pasal 4 ayat 2 poin b menyebutkan kepala BPIP diberikan setingkat menteri.
"Tidak ada tolok ukur besaran, eselon ataupun persentase dari sebuah ketentuan yang terukur. Sehingga timbul pertanyaan apakah Dewan Pengarah dapat dimaknai setingkat di atas menteri atau sama dengan Presiden?," tanyanya.
Poin keempat, lanjutnya, dalam pasal 5 terkait hak keuangan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Ia menegaskan APBN tahun 2018 belum menentukan nomenklatur tentang hak keuangan BPIP termasuk bagi dewan pengarah.
"Sehingga jika berpedoman pada disiplin anggaran maka baru dapat diterapkan pada APBN 2019 sehingga pemberian hak keuangan pada saat ini akan dapat menimbulkan masalah jika dilakukan pemeriksaan oleh BPK," jelas dia.
Selain itu, pada poin kelima, ia menyoroti bahwa anggota dewan pengarah dan kepala BPIP yang mendapatkan hak keuangan pengangkatannya tidak melalui seleksi.
Itu disebutnya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo sendiri pada 30 Maret 2017 silam.
"Jabatan-jabatan tersebut harus melalui seleksi terbuka. Tanpa proses seleksi maka menjadi sulit untuk mendapat hak-haknya," jelasnya.
Terakhir, Boyamin melihat standarisasi hak keuangan lembaga non kementerian.
Pemerintah, kata dia, belum melakukan standarisasi hak keuangan, yang mana berimbas pada tidak boleh ada pemberian hak keuangan yang nilainya terlalu besar.
"Pemerintah belum melakukan standarisasi hak keuangan Lembaga Non Kementerian, sehingga selama pemerintah belum melakukan standarisasi besaran hak keuangan maka tidak boleh pemberian hak keuangan dengan nilai yang terlalu besar," tandasnya.