Kedua, ia mengatakan kenaikan tarif tol ini juga sangatlah tak logis padahal pendapatan BUJT cukup tinggi.
Sepanjang 2017, sebagai contoh, PT Jasa Marga Tbk (JSMR) mencatatkan pendapatan sebesar Rp 35,09 triliun. Meningkat 110,62 persen dibanding pendapatan di 2016, Rp 16,66 triliun.
Jadi menurutnya, peningkatan tarif ini makin menegaskan pemerintah memang hanya mengejar keuntungan dan pendapatan, bukan pelayanan. Malah kebijakan ini memeras rakyat.
“Permasalahan ketiga adalah penyesuaian tarif tol yang tak diiringi penyesuaian Standar Pelayanan Minimal (SPM). Jika kita merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 16 Tahun 2014, ada delapan indikator SPM. Yaitu kondisi jalan, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan, kebersihan lingkungan, serta kelayakan tempat istirahat dan pelayanan," katanya.
Berdasarkan pemeriksaan BPK, lanjutnya, masih banyak ditemukan pemenuhan SPM jalan tol tak memadai.
Antara lain belum adanya SOP pemeriksaan pemenuhan SPM yang lengkap, tidak adanya penetapan standar penggunaan kecepatan tempuh rata-rata, dan beberapa ruas tol ditemukan tak memenuhi indikator jumlah antrean kendaraan dan kecepatan tempuh minimal rata-rata.
Baca: Seluruh Ruas Jasa Marga Diskon Tarif Tol 10 Persen
“Jadi, seharusnya kalau indikator-indikator SPM itu belum bisa dipenuhi, kenaikan tarif tol tak bisa dilakukan. Ini sama saja masyarakat dipaksa membayar lebih mahal untuk pelayanan yang masih buruk. Ini semakin membebani ekonomi masyarakat," katanya lagi.
“Karena itu, di tengah situasi pelayanan yang masih buruk, keuntungan BUJT yang sudah tinggi, dan daya beli masyarakat yang masih rendah, kebijakan kenaikan tarif tol ini harus ditolak. Kebijakan ini semakin menandakan tak adanya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat pengguna jalan tol. Jalan tol seharusnya bagian dari pelayanan publik bukan mesin keuntungan. Pemerintah jangan memeras rakyat," tukas Fadli.