TRIBUNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menegur Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
Terguran tersebut harus diberikan lantaran Hadar melihat Yosanna enggan mengundangkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.
Dimana dalam PKPU tersebut salah satu poinnya melarang mantan koruptor maju sebagai calon legislatig (caleg).
Padahal, sebelumnya Jokowi telah menyatakan bahwa KPU berwenang menerbitkan paraturannya sendiri.
"Mari kita lihat presiden. Presiden mengatakan, urusan terakhir finalnya itu adalah KPU. Kita harus dengarkan. Tapi saya bingung, presiden punya posisi A tapi membiarkan betul sehingga tidak seperti ini," ujar Hadar, di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (3/7/2018).
Hadar juga mempertanyakan, mengapa menteri bisa mempunyai sikap berbeda dengan presiden, padahal pernyataan presiden sudah jelas yakni mendukung langkah KPU.
"Kalau KPU sudah memutuskan, finalnya di mereka. Kita harus hormati. Nah seharusnya menteri-menteri juga begitu. Terus menteri-menterinya pemerintahan siapa kalau begitu?Agendanya siapa?," ujar Hadar.
Sebelumnya Menkumham Yasonna Laoly menegaskan, PKPU yang mengatur larangan eks koruptor nyapres tidak akan berlaku jika tidak diundangkan.
"Tidak bisa (berlaku), batal demi hukum," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Yasonna mengatakan, ketentuan ini sudah jelas diatur dalam pasal Pasal 87 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pasal itu disebutkan, peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan.
"KPU suruh baca, itu dipelajari di tingkat pertama di fakultas hukum," kata Yasonna.