TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/7/2018) kembali menyidangkan kasus suap Rp 3,6 miliar terkait proyek pembangunan RSUD Haji Damanhuri Barabai dengan terdakwa Bupati Kabupaten Hulu Sungai Tengah nonaktif, Abdul Latif.
Di sidang kali ini, Jaksa KPK menghadirkan dua orang saksi fakta yakni Tukiman-Pengawas Lapangan proyek RSUD Haji Damanhuri Barabai dan Ferozi Faisal-Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Proyek RSUD Haji Damanhuri Barabai.
Ketua majelis hakim di sidang hari ini sempat menanyakan soal nasib RSUD tersebut apakah sudah dapat digunakan ada belum?
Menjawab itu, Tukiman mengatakan hingga kini RSUD Haji Damanhuri belum dapat digunakan karena masih ada pekerjaan yang harus disempurnakan.
"Dari hasil terakhir setahu saya, ada pekerjaan yang harus disempurnakan. Ada beton yang belum rata dan harus dilakukan pembersihan di lokasi finishing yang kurang rapi. Itu masih jadi tanggung jawab kontraktor. Selagi belum ada serah terima dan berita acara, berarti belum bisa digunakan," papar Tukiman.
Lanjut hakim juga bertanya pada Ferozi Faisal- PPTK Proyek RSUD Haji Damanhuri Barabai, apakah merasa bebas menangani proyek ini ? Ferozi menyatakan alhamdulilah dia merasa bebas dan tidak ada tekanan.
Bahkan diungkap Ferozi saat pengerjaan proyek RSUD, pihaknya sempat diberi uang Rp 5 juta namun dia menolak. Uang diberikan kembali ke pemberi, Bahri tapi Bahri menolak akhirnya dicari solusi uang tersebut disumbangkan.
"Saya sudah kembalikan uang Rp 5 juta ke KPK, pakai uang pribadi saya," ungkap Ferozi.
Dalam perkara ini, Abdul Latif didakwa melanggar Pasal 13 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3w tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain dijerat dengan kasus suap Rp 3,6 miliar dari Donny Witono, Direktur Menara Agung Pusaka karena telah membantu memenangkan perusahaan Donny Witono dalam lelang proyek RSUD, terdakwa Abdul Latif juga disangkakan perkara gratifikasi dan pencucian uang.
Sementara itu Donny Witono telah divonis pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 50 juta subsidair 1 bulan kurungan. Vonis yang diterima Donny Witono jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK yakni tiga tahun penjara dan membayar denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.