TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) RBA Cabang Jakarta Pusat TM Mangunsong, Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Barat Berry Sidabutar, Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Utara Gerits de Fretes dan Ketua Peradi RBA Cabang Jakarta Selatan Halomoan Sianturi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap aktor selain Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dalam kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
ES ditangkap KPK di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan, Jumat (13/7/2018).
“Banyak kasus suap yang melibatkan oknum anggota DPR dilakukan secara berjamaah. Hal ini sangat memprihatinkan karena seharusnya legislatif berfungsi melakukan pengawasan agar pembangunan berjalan sebagaimana mestinya, malah cawe-cawe mengatur proyek untuk mendapatkan fee. Untuk itulah KPK harus membongkar tuntas semua pihak yang bermain dalam kasus ini, dan menangkap aktor-aktor selain ES, lalu menyeret semuanya ke pengadilan dengan tuntutan hukuman maksimal," ujar TM Mangunsong yang diamini ketiga pengacara lainnya tersebut dalam rilis mereka, Minggu (15/7/2018).
Mangunsong kemudian merujuk contoh kasus suap yang melibatkan oknum-oknum anggota DPR yang dilakukan secara berjamaah, antara lain kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom, dan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
“Sayangnya, KPK tidak pernah tuntas dalam menyisir semua pelaku penerima suap, dan tidak menuntutnya dengan hukuman maksimal. Inilah salah satu faktor yang membuat KPK gagal menciptakan detterent effect danshock therapy,” jelas Mangunsong yang juga Managng Martner TM Mangunsong Law Firm & Partner ini.
Banyaknya oknum anggota DPR yang terjerat korupsi, tegas Mangunsong, menjadi bukti KPK gagal menciptakandetterent effect (efek jera) bagi koruptor itu sendiri dan shock therapy (terapi kejut) bagi calon koruptor.
Atau juga perilaku koruptif sebagian elemen bangsa ini yang sudah ibarat penyakit akut yang sangat sulit diobati atau bahkan mungkin tidak bisa diobati.
"Mengapa OTT-OTT yang sudah begitu banyak dilakukan KPK belum juga mampu menciptakan detterent effect dan shock therapy? Inilah tantangan yang harus kita pikirkan bersama,” paparnya.
Kasus suap yang banyak melibatkan oknum anggota DPR, timpal Berry Sidabutar, juga membuktikan kuatnya pengaruh kekuasaan yang dimiliki legislatif, yang kemudian dengan mudah diperdangangkan dan disalahgunakan karena tidak ada kontrol terhadap DPR.
“Kalau eksekutif dikontrol legislatif, lalu siapa yang mengontrol legislatif? Di sinilah kekuasaan itu kemudian disalahgunakan. Pengaruh itu pun diperdagangkan,” jelasnya sambil mengutip teori Lord Acton (1834-1902), "Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan absolut pula kecenderungan korupnya).
Terbukti, jelas Berry, dalam semester pertama tahun ini saja KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak 16 kali, dengan rincian dua kali melibatkan legislatif, termasuk ES, 13 kali melibatkan eksekutif, khususnya kepala daerah, dan sekali melibatkan yudikatif. “Tiga pilar demokrasi dalam trias politica itu, yakni eskekutif, legislatif dan yudikatif, semuanya sudah terkontaminasi korupsi,” cetus Managing Partner Law Firm Berry Sidabutar & Associates ini.
Supaya KPK tidak terus-menerus gagal menciptakan detterent effect dan shock therapi, Gerits de Fretes menimpali, lembaga antirasuah ini harus menangkap aktor-aktor selain ES dalam kasus suap PLTU Riau-1 ini.
“Kasus ini harus jadi momentum bagi KPK untuk menciptakan efek jera dan terapi kejut yang selama ini gagal dilakukan KPK. Selain menangkap semua pelakunya, tuntutan yang nanti diajukan jaksa KPK juga harus maksimal. Jangan mengajukan tuntutan setengah hati, agar mereka yang mau mencoba bermain-main untuk korupsi berpikir seribu kali," tegasnya.
“Dengan KPK menangkap semua pelaku suap kasus PLTU Riau-1 lalu menuntutnya dengan hukuman maksimal, niscaya detterent effect danshock therapy akan terwujud, ujung-ujungnya korupsi dapat dieleminasi dari negara ini,” tandas Halomoan Sianturi.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah juga mensinyalir ES bukan aktor tunggal. "Kami telah menemukan sejumlah bukti bahwa ini bukan perbuatan satu orang saja," kata Febri Diansyah di kantornya, Jakarta, Sabtu (14/7/2018).
KPK menyangka ES menerima suap Rp 500 juta dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo. KPK telah menetapkan ES dan JBK sebagai tersangka dan menahan keduanya. Pemberian Rp 500 juta itu bukan yang pertama dari total Rp 4,8 miliar yang diduga diterima ES.
Sepanjang 2018, ada 16 OTT yang dilakukan KPK. Teranyar adalah OTT terhadap ES, politisi Partai Golkar. Wakil Ketua Komisi VII DPR ini menjadi anggota DPR kedua yang ditangkap KPK hingga pertengahan tahun ini, setelah sebelumnya KPK menangkap Amin Santono dari Partai Demokrat (4 Mei).
Sebanyak 13 OTT lainnya melibatkan pihak eksekutif, yakni kepala daerah. Mereka adalah Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif (4 Januari), Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko (3 Februari), Bupati Ngada Marianus Sae (11 Februari), Bupati Subang Imas Aryumningsih (13 Februari), Bupati Lampung Tengah Mustafa (14 Februari).
Juga ada Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra (27 Februari), Bupati Bandung Barat Abu Bakar (10 April), Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud (15 Mei), Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat (23 Mei), Bupati Purbalingga Tasdi (4 Juni), Wali Kota Blitar M Samanhudi Anwar (6 Juni), Bupati Tulungagung Syahri Mulyo (6 Juni), serta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi (3 Juli).
Satu OTT lain melibatkan yudikatif, yakni hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang Wahyu Widya Nurfitri (12 Maret).