TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi akan menelusuri keterlibatan Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Romi dalam kasus dugaan suap usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN-P 2018. Sebelumnya Romi dipanggil KPK, namun mangkir pada Senin, (20/8/2018),
"Ya chek and balance dia menjelaskan apa kaitannya nanti kita lihat sejauh apa kaitannya dia berperan disitu," kata komisioner KPK Saut Situmorang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (23/8/2018).
Menurut Saut, KPK tidak pernah memanggil seseorang bila tidak ada relevensinya dengan kasus yang diusut. Untuk itu, KPK memanggil Romi untuk mencari tahu kaitannya dengan kasus tersebut.
"KPK tidak pernah memanggil kalau dia tidak relevan dengan yang kita lagi dalami. oleh sebab itu perlu menjelaskan apa yang dia ketahui sejauh apa peran. sejauh ini belum ada status yang berubah," katanya.
Saut mengatakan KPK dalam menyelidiki suatu kasus dilakukan secara bertahap. Oleh karenanya ia belum mengetahui apa yang akan digali dari Romi. Hanya saja yang pasti KPK meminta Romi untuk penuhi panggilan KPK.
"Ya akan lebih baik lah kalau beliau menjelaskan semuanya kan akan menjadi clear kan," katanya.
Selain itu menurut Saut KPK dalam menyelidiki suatu kasus harus mempertimbangkan situasi politik yang berkembang. KPK tidak ingin kasus yang didalam menimbulkan kegaduhan yang cukup besar.
"Ya kan KPK tidak di ruang hampa kan KPKnya indonesia. dia harus hati-hati tidak boleh merusak demokrasi. kami juga kan penduduk demokrasi dipilih oleh komisi III dipilih oleh DPR oleh karena itu dua harus jangan bikin noise yang begitu lebih besar. jadi juga sorry kalau saya normatif ngomongnya," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Romahurmuziy akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Yaya Purnomo.
Pemeriksaan kepada Romi, sapaan akrab Romahurmuziy, kata Febri, berkaitan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik KPK di rumah Wakil bendahara umum PPP Puji Suhartono beberapa waktu lalu.
Dalam kasus dugaan suap dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN-P Tahun Anggaran 2018, KPK menetapkan 4 orang tersangka dari 9 orang yang terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (4/5/2018) malam di Jakarta.
Keempat tersangkanya adalah Amin Santono selaku Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Eka Kamaluddin selaku perantara suap, Yaya Purnomo selaku Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, dan Ahmad Ghiast selaku kontraktor.
KPK menyita uang sejumlah Rp 400 juta yang diduga merupakan suap untuk Amin terkait usulan dana Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2018. Tim juga menyita bukti transfer Rp 100 juta kepada Eka Kamaluddin (EKK) dari Ahmad Ghiast selaku kontraktor di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumedang, Jawa Barat, serta dokumen proposal.
Uang sejumlah Rp 400 juta dan Rp 100 itu merupakan bagian dari 7% komitmen fee yang dijanjikan oleh kontraktor untuk 2 proyek di Pemkab Sumedang yakni di Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman dan Pertanahan senilai Rp 4 milyar dan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) senilai Rp 21,850 milyar. Yaya diduga bersama-sama Amin akan meloloskan anggaran dua proyek tersebut.
Amin Santono, Eka Kamaluddin, dan Yaya Purnomo pihak penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Ahmad Ghiast sebagai pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.