Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar (PB) Nahdatul Ulama (NU), KH Maman Imanulhaq menyayangkan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Sumatra Utara memvonis terdakwa atas nama Meiliana penjara 18 bulan atas dasar tuduhan penodaan agama.
Kiai Maman juga menyoroti mengapa kasus Meiliana sampai dibawa ranah hukum.
Baca: Setara Institute Sayangkan Vonis Hakim Terhadap Meiliana yang Keluhkan Suara Adzan
Menurut Kiai Maman, keluhan Meiliana soal volume pengeras suara yang mengumandangkan azan dari masjid, semestinya bisa diselesaikan secara kekeluragaan.
“Masyarakat kita kan memang majemuk. Kita hidup dalam masyarakat dengan beragam latar belakang , termasuk agamanya. Para tokoh setempat semestinya bisa mendialogkan keluhan ibu Meliana sehingga ketemu solusi,” tegas Anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini kepada Tribunnews.com, Kamis (23/8/2018).
Jika semua pihak arif dalam menyikapi keluhan Meliana, tambah Maman, seharusnya masalah itu tak sampai ke meja hijau.
“Bukankah kita dikenal sebagai bangsa yang toleran? Tetapi selalu saja ada peristiwa yang membuat kita cemas dan kawatir mengenai pudarnya toleransi kita dalam berbagai jenjang kehidupan,” ujar Kiai Maman.
Vonis penjara bagi Meliana, kata Maman, harus menyadarkan kita semua pentingnya keguyuban dan kerukukan dalam keberagaman yang merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Ke depan, setiap kali muncul ‘persoalan’ yang menyangkut masalah agama hendaknya segera dimusyawarahkan agar tak membesar.
“Intinya bagaimana kita tetap guyub dalam perbedaan. Sidang perkara seperti yang dihadapi Ibu Meliana ini tak boleh ada lagi. Ini yang terakhir,” ujar Kiai Maman yang juga Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf Amin itu.
Untuk itu pula mantan anggota Komisi VIII DPR RI Ini mengingatkan seharusnya pasal penodaan agama tidak lagi digunakan karena agama ataupun ideologi tak bisa dihina, dinista atau dinodai.
“Kita harus berani katakan, ‘Cukup, sudah cukup.’ Hukuman terhadap Ibu Meliana di Tanjung Balai adalah alarm buat kita semua. Kita harus hentikan diskriminasi dan ketidakadilan atas nama agama kepada kalangan minoritas,” tegasnya.
Kiai Maman merupakan salah seorang tokoh yang terus mendesak dihentikannya pengunaan pasal penodaan agama.
Pekan lalu, dalam South East Asia Freedom of Religion and Faith Conference (SEA ORB), konferensi soal kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Bangkok, Thailand, Kiai Maman berbicara lantang tentang hal itu.
Yang diderita kaum Muslim Rohingya di Myanmar, menurut Kiai Maman, adalah buah dari ‘kampanye’ kebencian terhadap minoritas.
Mereka diusir dari kampungnya, kini ada sekitra 700 ribu warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.
“Sebagian pengungsi Rohingya ada di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Ini semua dipicu oleh kebencian sebagaian Buddha di Myanmar terhadap warga Rohingya,” ujar Kiai Maman.
Pada 2009-2010, bersama tiga orang cendekiawan Muslim, termasuk Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, serta tujuh organisasi sipil, Maman menggugat pasal penodaan agama KUHP 156a ke Mahkamah Konstitusi. Namun gugatan itu ditolak.
Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Negri Medan, Selasa (21/8/2018) menyatakan perempuan 44 tahun itu terbukti melakukan penistaan agama karena memprotes suara azan dari masjid di lingkungan tempat tinggalnya di Tanjung Balai, Sumatra Utara, yang menurutnya terlalu keras.
Baca: Hendardi Sebut Kasus Meiliana Serupa dengan Pola Kasus Ahok
Pasal penodaan agama lahir di era pemerintahan Presiden Soekarno, Januari 1965.
Sampai saat ini tercatat sudah ada 147 orang yang dipenjara karena dinyatakan menabark pasal itu, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama alias Ahok dan yang terakhir Meiliana.