Laporan Reporter Kontan, Anggar Septiadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih membuka kemungkinan untuk memanggil kembali Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir. Menindaklanjuti kasus suap PLTU Riau-1.
Pasalnya dalam kasus ini KPK sendiri masih melakukan penyelidikan lebih dalam terkait pihak siapa saja yang menerima aliran dana tersebut dan siapa saja yang ikut berperan dalam kasus suap tersebut.
"Kita KPK masih mendalami kasus tersebut kira-kira uangnya itu lari kemana saja, mungkin kalau ke depannya dibutuhkan kita akan panggil sebagai saksi, " ujar Febri Diansyah pada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (12/9/2018).
Sebelumnya, Febri menegaskan, sejauh ini kapan pemanggilan Sofyan Basir masih belum dibicarakan. Hanya saja ke depannya akan dijadwalkan pemanggilan kembali.
Adapun tersangka yang sudah ditetapkan pada kasus ini adalah bekas Menteri Sosial , Idrus Marham, mantan anggota DPR periode 2014-2019 Eni Maulani Saragih (EMS) dan juga pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK).
Idrus Marham diduga telah menerima janji commitment fee untuk mendapat bagian yang sama besar dari jatah EMS sebesar US$ 1,5 juta yang dijanjikan JBK jika proyek PLTU Riau-1 berhasil dilaksanakan oleh JBK dan timnya.
Baca: Tawaran Berinvestasi di Unit Apartemen untuk Jaminan Hari Tua Atlet Asian Games 2018
Sementara EMS menerima US$ 1,5 juta. KPK terus mendalami kasus ini dan terus mengembangkan pencarian siapa saja yang terlibat dan ikut menerima aliran dana ini.
Idrus Marham terjerat pasal 12 undang-undang huruf atau b atau pasal 11 undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP atau pasal 56 ke - 2 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Lalu, EMS dijerat Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 UU No. 13/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan JBK dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.