TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Presidium Aksi Bela Islam, Kapitra Ampera, menolak keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait memperbolehkannya mantan napi korupsi mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
"Saya pribadi sangat menolak. Ini logikanya nggak masuk. Dia sudah diberikan kesempatan oleh rakyat untuk jadi pejabat," tuturnya di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu (15/9/2018).
Kemudian, dia membandingkan penanganan terhadap kasus tindak pidana korupsi antara Cina dengan Indonesia.
"Jabatan itu disalahgunakan, lalu uang rakyat dikorup. Kalau di Cina sudah dihukum mati itu. Sudah bukan hak politik lagi, hak hidup pun hilang," kata Kapitra.
Kapitra pun mempertanyakan kenapa MA sampai bisa mengambil keputusan itu.
Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu kemunduran dari kebijakan hukum di Indonesia.
"Tapi kenapa MA kita tetap masih menghargai itu. Ini pertanyaan besar. Ini kemunduran dari kebijakan hukum kita," katanya.
Diwartakan sebelumnya, uji materi terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019 sudah diputus oleh MA pada Kamis (13/9/2018) lalu.
Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa ketentuan yang digugat oleh para pemohon bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu UU 7/2017 (UU Pemilu).
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa mantan terpidana kasus korupsi diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota asalkan memenuhi beberapa persyaratan.
Putusan MA tersebut juga mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji UU Pemilu yang menyebutkan bahwa mantan terpidana diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota asalkan yang bersangkutan mengakui kesalahannya di depan publik.
Adapun perkara uji materi yang dimohonkan oleh Wa Ode Nurhayati dan KPU ini diperiksa dan diputus oleh tiga hakim agung, yaitu Irfan Fachrudin, Yodi Martono, dan Supandi, dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018.