News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sarwono Menolak Ajakan Soeharto untuk Menjadi "Orang Cendana"

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sarwono Kusumaatmaja.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Sebagai orang baru dalam jajaran kabinet Presiden Soeharto (Kabinet Pembangunan V, Maret 1988 - 1993) Sarwono Kusumaatmadja selaku Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) merasa perlu untuk sering bertemu dengan Presiden Soeharto guna mendapat arahan kerja.

Permohonan untuk bertemu dari Sarwono selalu dipenuhi oleh Soeharto. Pertemuan selalu berlangsung pada malam hari, pukul 20.30 di kediaman Presiden di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.
Mereka hanya berdua saja. Pertemuan tak selalu atas permohonan Sarwono. Kadang-kadang malah Pak Harto sendiri yang memanggil Sarwono ke Cendana.

Percakapan yang terjadi antara mereka berdua, menurut penuturan Sarwono dalam buku memoarnya "Menapak Koridor Tengah", selalu monolog. Dalam buku itu, Soeharto bercerita panjang lebar tentang pangalaman masa lalu serta berbagai perjumpaannya dengan tokoh-tokoh masa tersebut.

Sarwono Kusumaatmadja yang pernah menjabat dua pos kementerian pada masa Presiden Soeharto, dan Menteri Eksplorasi Laut pada masa Gus Dur, menulis memoar berjudul "Menapak Koridor Tengah, yang dirilis Kamis (27/9/2018) kemarin. Berikut sedikit nukilan dari memoar tersebut.

Pada awalnya Sarwono amat tertarik dan selalu mendengarkan dengan cermat penuturan Soeharto. Terkadang ia mengajukan berbagai pertanyaan.

Namun, lama kelamaan Sarwono merasa janggal dengan pertemuan-pertemuan mereka berdua selama 3 bulan dengan frekuensi sekali seminggu. Karena, tidak sedikit pun ada arahan dari Presiden tentang pekerjaan Sarwono sebagai menteri.

Lantas Sarwono mencari tahu makna pertemuan dengan Soeharto itu kepada Wakil Presiden Sudharmono, yang memang sudah lama dekat dengan Soeharto.

"Oh, itu artinya situ (kamu) sedang dijajaki apakah bisa direkrut sebagai 'orang dalam' (inner circle). Berarti Pak Harto sedang menjajaki, apakah orang yang namanya Sarwono ini bisa diajak untuk bekerja, tidak hanya sebagai menteri semata, tetapi juga sebagai anggota kelompok inti di sekitar beliau,” demikian kata Pak Dhar, panggilan akrab Sudarmono.

'Orang dalam' pada masa itu biasa disebut sebagai "Orang Cendana", merujuk rumah pribadi Presiden Soeharto. Hanya segelintir orang yang bisa dikategorikan sebagai "Orang Cendana". Oleh karena itu banyak elite Golkar, militer, dan lainnya yang berusaha keras supaya bisa menjadi "Orang Cendana".

Lalu Sarwono bertanya kepada Pak Dhar bagaimana ia harus bersikap. Sudharmono menyerahkan keputusan itu kepada Sarwono sendiri.

Sudharmono kemudian mengungkapkan pengalamannya sebagai 'orang dalam'. "Saya sebagai Mensesneg pernah menjadi orang dalam. Bebannya berat. Banyak yang kita ketahui, tetapi kita harus tutup mulut. Kadang-kadang ada perintah Presiden yang harus kita laksanakan, padahal hati kecil kita mempertanyakan perintah itu. Beliau juga kadang memberikan arahan yang perlu penafsiran yang tepat, dan dalam hal itu bukan perkara gampang,” demikian kata Pak Dhar.

"Silakan memilih yang terbaik. Saya hanya ingin ingatkan, tidak mudah menjadi orang dalam. Beban mentalnya berat. Kalau tidak kuat menanggung beban tersebut kita bisa mengalami disorientasi
dan perilaku kita bisa menjadi aneh,” tambah Pak Dhar lagi.

Sarwono kemudian menemui Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Benny Moerdani. Ternyata jawaban Benny mirip dengan uraian Sudharmono.

Setelah mendapat masukan dari dua seniornya tersebut, Sarwono melakukan permenungan cukup lama. Akhirnya, ia sampai pada keputusan bahwa tidak mau menjadi 'orang Cendana'.

"Setelah saya renungkan baik-baik, saya memutuskan tetap berada di Koridor Tengah. Bagaimanapun, berada dalam posisi ini saya akan dapat selalu menjaga jarak dengan kalangan elite puncak politik. Di situ saya hanya bekerja dalam batas mandat yang diberikan, tentunya dengan sentuhan kreativitas dan pendekatan sistem," begitu keputusan Sarwono.

Masalah berikutnya adalah bagaimana cara Sarwono menyampaikan sikapnya itu kepada Pak Harto. Jelas dia tidak bisa langsung menyampaikan kata menolak, karena tak sekali pun Pak Harto mengucapkan ajakan masuk 'inner circle'. Apalagi, Sarwono adalah bawahan Presiden.

Kesempatan untuk menyampaikan sikap itu pun akhirnya tiba, ketika dalam pertemuan berdua Pak Harto bercerita mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Inilah kesempatan itu, pikir Sarwono.

"Pak Harto, saya merasa mendapat banyak hal dalam diskusi selama ini,” begitu ucapan saya kepada Pak Harto. ”Tapi, mohon maaf, saya tidak terbiasa bercakap tentang hal-hal yang terlalu pribadi. Lagi pula Bapak belum memberikan arahan kepada saya selaku menteri, padahal beberapa laporan sudah saya sampaikan”.

Sekilas wajah Pak Harto terlihat berubah mengeras. Kemudian beliau katakan, ”Silakan minum.”
Setelah berbasa-basi sejenak, saya pun pamit. Alangkah leganya perasaan saya saat itu.

Beberapa waktu kemudian, ketika Sarwono kembali memohon waktu untuk bertemu Presiden, ia diberi waktu pukul 10 pagi di Bina Graha, kantor resmi Presiden, bukan di Cendana lagi. Menurut Sarwono, suasana pertemuan tampak sudah berbeda. Dalam kesempatan tersebut, Presiden memberi arahan tentang pelaksanaan Pengawasan Melekat.

Sejak saat itu, tak pernah sekali pun Soeharto mengundang Sarwono ke Cendana untuk berbincang berdua.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini