Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang sudah disahkan membutuhkan beberapa peraturan pemerintah (PP) yang krusial.
Salah satu yang diusulkan adalah PP khusus tentang penanganan kasus pekerja migran.
Dengan begitu ada semacam standard operating procedure (SOP) yang jelas, ketika pekerja migran menghadapi masalah dengan majikan atau pemberi kerja.
Usulan tersebut disampaikan Anggota Tim Pengawas PPMI DPR RI Rieke Diah Pitaloka saat mengikuti rapat dengan empat kementerian yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah guna membahas aturan turunan UU PPMI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Dalam PP yang diusulkan Rieke, harus ada PP tugas dan peran pemerintah pusat dan daerah yang mengatur layanan terpadu satu atap (LTSA).
“Dalam PP tersebut diharapkan menyediakan desk penanganan kasus untuk memudahkan PMI dalam menangani kasusnya,” ujar Rieke yang juga Anggota Komisi VI DPR RI ini.
Kebetulan pemerintah akan membangun 21 LTSA baru setelah sebelum membangun 24 LTSA. Jadi, ketika LTSA baru dibangun sudah ada bagian khusus yang menangani kasus pekerja migran Indonesia.
PP yang juga tidak kalah pentingnya, sambung Anggota F-PDI Perjuangan ini, adalah PP yang khusus mengatur pengawasan.
PP ini diusulkan agar pemerintah tidak melulu fokus pada penempatan. Kalau terus fokus pada penempatan berarti terjebak pada penerapan sistem perbudakan modern.
“Menurut kami ketika bicara perlindungan, maka tidak mungkin terjadi perlindungan yang maksimal oleh negara ketika pengawasan lemah,” serunya.
Pada bagian lain, Rieke juga berharap agar jaminan hari tua dan jaminan pensiun para pekerja migran Indonesia perlu diperhatikan kembali.
Pekerja migran harus punya skema jaminan pensiunnya sendiri. Ini agar hari tua pekerja migran Indonesia punya kepastian penghasilan dan kehidupan yang layak.
“Kalau jaminan hari tua dikeluarkan satu kali ketika selesai bekerja. Tapi, kalau jaminan pensiun tiap bulan akan keluar dan itu diatur oleh BPJS,” jelas Rieke lebih jauh. (*)