TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jumlah fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) di berbagai lokasi terdampak gempa dan tsunami di Palu dan Donggala sangat terbatas.
Jika persoalan sanitasi tak segera ditangani, para pengungsi dikhawatirkan terjangkit berbagai wabah penyakit. Belum seluruh pengungsian di Palu menyediakan toilet portabel, setidaknya hingga Rabu (03/10/2018).
Para pengungsi selama ini masih menggunakan toilet di perkantoran. Beberapa pengungsian seperti di halaman Markas Korem 132/Tadulako dan kantor Telkom Palu memiliki sejumlah toilet, meski jumlahnya tak sebanding dengan pengungsi.
Persoalan bukan cuma ketersediaan toilet, tapi juga pasokan air. Elang, warga Palu, menyebut banyak toilet masih berdiri di pemukimannya. Namun toilet tersebut kotor karena pompa air tak teraliri daya listrik.
"Karena sistemnya menggunakan penampungan air, saat listrik mati, air tidak tertampung, toilet jadi tak bisa dibersihkan," ujar Elang.
Kondisi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir itu diakui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Mereka menyebut fasilitas MCK adalah salah satu kebutuhan mendesak, selain bahan makanan dan tempat tinggal sementara.
Menurut pakar kesehatan lingkungan dari Institut Teknologi Bandung, Katharina Oginawati, fasilitas sanitasi kerap tak menjadi prioritas dalam penanganan korban bencana alam. Padahal, kata dia, jika sanitasi terabaikan, pengungsi berpotensi terserang wabah penyakit, dari diare hingga demam berdarah.
"Ini kondisi darurat, harusnya toilet darurat segera dibangun. Kita sering lamban, tidak jeli melihat ini. Orang buang air tidak bisa ditahan, jadi bisa sembarangan di tanah atau selokan."
"Kalau toilet tidak segera tersedia, sanitasi ini bisa jadi masalah baru," kata Katharina saat dihubungi via telepon.
Katharina menuturkan, pengelolaan sanitasi seharusnya satu bagian dalam pendirian pengungsian. Ia berkata, toilet darurat harus dilengkapi sistem pembuangan limbah yang tepat.
Pembuangan limbah mandi (grey water) dan kakus (black water), kata dia, harus terpisah dan tak menciptakan genangan. Katharina menyebut pengelola pengungsian harus memiliki bak khusus, baik septic tank atau biofil.
"Kalau tidak ada pengolahan, akan menggenang. Akibatnya, muncul bau yang mengundang hewan seperti insekta atau tikus."
"Lalat bisa terbang ke dapur dan kebanyakan, kalau sudah begitu, bisa muncul wabah," ucapnya.
Namun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan telah menangani sanitasi pengungsian Palu, meski kini masih lebih mengutamakan evakuasi korban meninggal dari ruang terbuka.
Juru Bicara Kementerian PUPR, Endra Atmawidjaja, menilai jasad korban bisa lebih berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, dibandingkan ekses terbatasnya fasilitas MCK.
"Kalau penganan jasad lambat atau tidak segera dikubur, itu bisa jadi bibit penyakit. Ini lebih berbahaya dibandingkan buangan manusia."
"Soal kakus, kita bisa kembali ke pola paling tradisional kalau darurat, misalnya di tanah kosong. Kalau soal mayat tidak bisa karena wabahnya bisa lebih cepat menular," kata Endra.
Kementerian PUPR awal pekan ini mengirim 50 toilet portabel, 15 di antaranya telah tiba di Palu. Sekitar 60.000 pengungsi di daerah itu diklaim setidaknya membutuhkan 150 toilet berpindah.
Endra berkata, PUPR berharap lembaga kemanusiaan dan korporasi dapat menyediakan 100 toilet portabel ke Palu. Meski menurut hitungan Katharina, seharusnya tersedia 1.200 toilet darurat.
Artinya, satu toilet itu digunakan maksimal untuk lima kepala keluarga, yang setidaknya terdiri dari lima orang. Tak hanya toilet, dari Makassar, Surabaya, dan Jakarta, Kementerian PUPR juga mengirim 125 hidran berkapasitas 2.000 liter dan 15 tangki air.
Peralatan itu akan ditempatkan di pengungsian besar, antara lain di halaman balai kota, bandara, markas korem, masjid besar, dan kantor Brimob.
"Ini hanya soal waktu. Kami harapkan sebelum seminggu pasca kejadian, semuanya sudah tersedia, karena kalau lebih dari itu, warga akan berhadapan dengan penyakit," kata Endra.
Untuk air bersih, PUPR berencana mengirim mobil instalasi pengolahan air. Endra menyebut mobil itu dapat memaksimalkan sumber air bersih di beberapa sungai di Palu.
"Kalau sumbernya besar, kami bisa ambil terus menerus, lalu distribusikan. Satu liter air per detik bisa untuk 1.000 jiwa," kata dia.
Menurut Katharina, pemerintah sebenarnya juga dapat menggunakan teknologi reverse osmosis untuk mengubah air laut menjadi air bersih.
Teknologi yang disebutnya cukup mahal itu bisa didapat dari bantuan negara asing.
"Kalau memungkinkan, olah juga air laut, selain air tanah. Tapi karena mungkin tercemar, ambil air agak ke tengah laut," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Toilet Terbatas, Pengungsi Palu Terancam Wabah Penyakit"