TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tim kampanye nasional Joko Widodo menuding kubu Prabowo Subianto menggunakan teknik kampanye ala Donald Trump saat memenangkan Pilpres Amerika Serikat 2016.
Influencer TKN Jokowi-Ma'ruf, Budiman Sudjatmiko menerangkan, teknik kampanye yang dimaksud adalah Firehose of Falsehood, yakni memanfaatkan kebohongan sebagai alat politik.
Dalam hal ini, Budiman menyebut kebohongan aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet, merupakan hal yang sudah dapat diprediksi.
Budiman menuturkan, teknik kampanye propaganda Trump, dibuat oleh Cambridge Analytica. Ia pun menyebut, teknik kampanye Firehose of Falsehood ini sudah mulai sejak Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 lalu.
Calon gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, harus dipenjara karena menyinggung Surat Al Maidah ayat 51. Budiman melihat ada fenomena aneh dalam kasus Ahok.
"Kutipan potongan media itu bisa dipakai memobilisasi dukungan maupun sikap anti terhadap figur tertentu, waktu itu Ahok. Ternyata itu memang adalah kerja dari sebuah perusahaan, sebuah teknologi yang kita namakan Cambridge Analytica," ujar Budiman di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/10/2018).
Budiman menengarai ada pola yang sama antara kasus Ahok dengan Ratna. Yakni, kehebohan yang sengaja dibuat dengan maksud menjatuhkan lawan politik. Dalam kasus ini, demi mengeksploitasi dan memanipulasi sifat emosional orang. Bahwa, ada perempuan berusia 70 tahun, Ratna Sarumpaet, yang kerap mengkritisi pemerintah, dipukuli.
"Isu bahwa Bu Ratna dipukuli, entah benar atau tidak, itu adalah sebuah isu yang terencana atau patut diduga menyasar pemerintahan Jokowi akan mengancam hidupmu, orang kritis bisa dipukuli. Seorang ibu-ibu aktivis, 70 tahun, dianiaya pak Jokowi," kata Budiman.
Karena itu, ucap Budiman, kasus pengakuan kebohongan Ratna Sarumpaet ini bukan sesuatu kekeliruan, tapi kehebohan yang sengaja diciptakan. Ia pun tak percaya, bahwa orang sekeliling Prabowo menjadi korban kebohongan Ratna.
"Saya tidak percaya Ratna Sarumpaet adalah pelaku tunggal dan Prabowo adalah korban," ujar Budiman.
Budiman menengarai, pola itu, sama halnya yang digunakan oleh Cambridge Analytica. Yakni, menggunakan strategi dengan mengidentifikasi pemilih yang dapat dibujuk dan isu-isu yang dipedulikan para pemilih. Lalu, mengirimkan 'pesan-pesan' yang berdampak pada sikap atau pilihan politik masyarakat.
Menurut Budiman, penggunaan strategi itu terbukti efektif menghasilkan kemenangan dalam kontestasi politik di pelbagai tempat di dunia, yang satu di antaranya Amerika Serikat.
"Namun juga pasti akan menyertakan kerusakan sosial dan politik yang sulit untuk diperbaiki kembali. Kita tahu, pemilu AS adalah yang paling rasis," ujar Budiman.