TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jika pada zaman dahulu manusia mencatat peristiwa dengan daun lontar sebagai sumber sejarah, maka di era dunia maya seperti sekarang posisi daun lontar digantikan dengan media sosial.
Hal itu terjadi akibat perubahan peradaban yang cukup radikal dari analog ke digital.
"Jika dahulu orang mencatat peristiwa hidupnya dalam buku harian. sekarang hampir semuanya dilakukan di media sosial. Orang bercerita, mengeluh, mengutarakan pendapatnya, mengabadikan momen-momen hidupnya di media sosial,” kata Ketua Ikatan Alumni (Iluni) Sejarah Universitas Indonesia Patria Gintings dalam pernyataannya, Selasa (16/10/2018).
Baca: Indonesia vs Hongkong: Alberto Goncalves Golnya tak Mampu Bawa Indonesia Raih Angka Penuh
Dahulu kala, kata Patria, jejak peradaban kuno dunia ribuan tahun lalu bisa diketahui berdasarkan hasil penelusuran dan penelitian lewat medium prasasti, lembar lontar, hingga piramida.
Begitu pun di Indonesia, bangsa Indonesia, lanjut Patria, dapat mempelajari rekam jejak tokoh-tokoh seperti Kartini dan Soe Hok Gie lewat catatan harian yang ditulis di buku.
"Namun, sekarang orang lebih banyak kirim e-mail, lebih banyak nge-tweet, lebih banyak nulis di blognya. Jadi harus mulai dipikirkan cara menyelamatkan semua sumber itu, kalau kita ingin generasi masa depan Indonesia belajar tentang Kartini-kartini digital atau Soe Hok Gie-Soe Hok Gie digital,” kata Patria.
Baca: Kisah Wanita Cantik Manajer Villa Hotman Paris, Rela Keliling Bali di Cuaca Panas dan Tertipu Ini
Pada masa mendatang lanjut Patria nantinya peradaban kita yang semakin digital harus dipelajari dari blog, vlog, postingan di medsos, chatting di WA.
"Suatu hari nanti, semuanya itu akan menjadi sumber sejarah yang perlu dicari, dianalisa, dan dituliskan oleh para peneliti sejarah,”ujar Patria.
Ia mengatakan saat ini pengguna aktif media sosial di Indonesia diperkirakan mencapai 130 juta berdasarkan penelitian We Are Social & Hootsuite tahun 2018.
Karena itu, Patria mendorong praktisi lintas zaman di Indonesia dapat bertemu untuk membahas bagaimana jejak peradaban digital kita terdokumentasikan dengan baik.
"Alangkah lebih baik jika kisah peradaban digital kita nanti diceritakan oleh sejarawan masa depan sebagai era peradaban yang penuh kolaborasi, penuh kemajuan, penuh kreatifitas dan inovasi. Bukan peradaban yang banyak caci maki marah-marah atau hoax,” ujar Patria.
Baca: Pendeta Heski Roring Maafkan Tersangka Kasus Peluru Nyasar ke Gedung DPR
Patria mengatakan, usaha-usaha untuk memunculkan database sumber-sumber atau karya-karya sejarah dalam ranah digital juga sudah mulai banyak dilakukan.
Seperti yang dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di tahun 2012 dengan melakukan pemindaian (scanning) untuk digitalisasi koleksi sejumlah besar arsip tulisan tangan tertua yang dimiliki mereka.
Usaha ini diberi nama DASA (Digital Archive System) oleh ANRI.