Sementara itu, Sejarahwan Publik Universitas Indonesia Kresno Brahmantyo mengatakan, sumber digital pada masa mendatang akan menjadi tren bagi para sejarahwan.
Karena itu, Kresno menantang para pengguna media sosial saat ini mempublikasikan segala hal yang baik karena akan menjadi sumber sejarah pada masa mendatang.
"Pada Tahun 2006, Time merilis majalahnya dengan konten “Person of The Year”-nya adalah “You”. Hal itu karena internet berkembang dan banyak penggunanya yang mengunduh berbagai konten tentang dirinya masing-masing. Konten itu membuat para penggunanya membuat sejarah tentang dirinya sendiri,” kata Kresno.
Kresno menjelaskan, negara lain sudah mengembangkan fitur-fitur untuk pencarian sumber sejarah.
Contohnya Australia memiliki Trove, History Lab (podcast), dan State Library.
Setelah itu, Amerika Serikat memiliki Historypin dan Historypics (twitter).
"Lalu bagaimana dengan Indonesia dalam memenuhi hal tersebut?" ujar Kresno.
Sementara itu, Kepala Kebijakan Publik Twitter Indonesia Agung Yudha mengatakan, media sosial memberikan ruang kepada penggunanya untuk memanfaatkan fitur-fitur yang ditawarkan.
Setiap media sosial, lanjut Agung, memiliki platform dan fungsi yang berbeda.
"Sebagai contoh twitter berfungsi untuk mengupdate tren terakhir atau saat ini, terhubung dengan pengguna lain, mengekspresikan karya pribadi, berbagi opini. Twitter berfungsi untuk mengobrol atau diskusi di mana para pengguna yang lainnya dapat melihat dan terhubung langsung ke sana untuk mempermudah komunikasi,” ujar Agung.
Terkait dengan kesahihan sumber di media sosial, kata Agung, bisa dilihat dari latar belakang penulis dan mencocokannya dengan tulisan-tulisan yang lain.
"Dalam mengutip sebuah sosial media ada fitur untuk yang langsung terhubung dengan pihak pengunggah, bukan dengan cara menangkap gambar kemudian dilampirkan dalam bentuk publikasi lainnya tanpa meminta izin sebelumnya,” tutur Agung.
Meski demikian, Agung mengatakan, media sosial akan menjadi tambahan metode sebagai data sumber sejarah.
"Namun bukan berarti ketika di era digital ini, metode lama seperti buku, surat kabar, dan arsip ditinggalkan,” ujar Agung.