Kementerian Pertanian (Kementan) optimis stok kebutuhan jagung masih dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, salah satunya adalah dengan melihat potensi panen di Jawa Tengah (Jateng) hingga akhir tahun.
Hingga Desember ini masih terdapat seluas 88.038 hektare lahan jagung yang sudah mulai dan akan panen, diantaranya di enam kabupaten yang luas panennya lebih besar dari kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Grobogan, Blora, Klaten, Wonosobo, Jepara dan Kendal.
Secara keseluruhan tahun 2018, perkiraan luas panen jagung di Jateng sebesar 590.285 hektare. Terdapat 29 kabupaten di Jateng yamg dikembangkan jagung yang tidak bersamaan waktu tanamnya, karena sesuai dengan kondisi iklim, tipe lahan dan sosioculture masyarakat setempat. Karena itu, hampir setiap bulan ada panen jagung yang volumenya fluktuatif.
Puncak panen jagung di Jateng umumnya terjadi pada bulan Januari yang merupakan hasil tanam bulan Oktober. Jagung biasanya ditanam di lahan tadah hujan dan lahan kering karena tersedia cukup air.
"Panen jagung masih ditemui di bulan Oktober hingga Desember namun memang volumenya lebih rendah daripada bulan-bulan sebelumnya karena hanya wilayah-wilayah tertentu yang dapat menanam jagung di musim kemarau (MK)," kata Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Jateng Kementan, Harwanto di kantornya pada (15/10/2018).
Harwanto menjelaskan bahwa semangat menanam jagung tersebut sejalan dengan kebijakan gerakan tanam padi jagung dan kedelai yang secara simultan dan terus-menerus melalui tiga strategi yaitu: 1).intensifikasi dalam budidaya; 2).peningkatan indeks pertanaman (IP); dan 3) perluasan areal tanam baru (PATB). Bahkan saat ini mulai diterapkan program tanam dengan sistem tumpangsari padi-jagung, padi-kedelai dan jagung-kedelai, untuk peningkatan produksi dan konservasi lahan.
"Dengan optimalisasi sumberdaya lahan, optimalisasi sarana prasarana pendukung dan pemahaman nilai ekonomi, gerakan tanam jagung baik monokultur maupun tumpangsari dapat dilakukan sepanjang musim," terang Harwanto.
Dengan kebijakan ini, kontribusi produksi jagung di Jateng cukup signifikan secara nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi jagung nasional pada tahun 2017 mencapai 28,9 juta ton, sebesar 12,3 persennya dihasilkan di Jateng.
Harga Kompetitif Jadi Insentif
Tidak semua sentra pengembangan jagung di Jateng menanam di musim hujan (MH) atau sebaliknya. Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora misalnya, banyak menanam di musim hujan dan hanya sebagian menanam saat kemarau.
Sementara di Kabupaten Klaten dan Kabupaten Jepara lebih tinggi ditanam saat kemarau daripada musim hujan. Lalu Kabupaten Wonosobo, walaupun bukan sentra utama namun relatif konstan sepanjang tahun tersedia jagung.
Di Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan, pada bulan Oktober ini sedang musim panen jagung pada lahan sekitar 70 hektare yang tersebar di 7 desa. "Walaupun ditanam di musim kering dan hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya, namun dengan harga jual saat ini yang mencapai Rp 4600/kg pipil kering, petani sudah merasakan keuntungannya," kata Rasidi, salah satu petani Desa Tegowanu Wetan.
Harapan petani adalah harga jual agar tetap stabil dan akan lebih senang jika harga jual dinaikkan mengingat biaya produksi juga semakin tinggi. Dengan harga yang menguntungkan dan kondisi lahan yang sebagian besar adalah tadah hujan, pada musim hujan 2018 ini petani akan menanam jagung kembali
Begitu juga di 4 kecamatan di Kabupaten Kendal yaitu Pegandon, Cepiring, Gumuh dan Patean, yang merupakan sentra jagung, saat ini sedang berlangsung panen, dan akan menanam jagung kembali di musim hujan 2018 dalam luasan yang lebih besar.
Harga benih jagung yang tinggi dan sering kurang tersedia pada saat waktu tanam tiba menjadi keluhan petani di Kabupaten Kendal. Namun demikian, sama dengan petani di Kabupaten Grobogan, jika harga jual tinggi, petani akan terus menanam jagung karena potensi lahan yang sesuai untuk tumbuh optimal tanaman jagung.(*)