Presiden Joko Widodo idelanya menyuarakan kembali ketidakadilan global yang diperankan negara-negara maju seperti disampaikan pada tahun 2015 saat Konferensi Asia-Afrika di Jakarta.
Sebagai tuan rumah pertemuan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB), kritik juga mestinya disampaikan pada dua lembaga keuangan dunia tersebut.
Isu ketidakadilan global, ketimpangan, serta dominasi negara-negara maju dalam arsitek keuangan global, mestinya jadi isu aktual saat ini.
Sayangnya, Presiden Jokowi tak menyinggung itu dalam pidatonya di hadapan para peserta pertemuan tahunan IMF dan WB. Presiden justru mengangkat isu Game of Throne sebagai refleksi atas perang dagang negara-negara besar yang kemudian pidato itu malah diapresiasi IMF.
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, Selasa (16/10/2018), menilai, jika disimak pidato Presiden Jokowi di forum IMF-WB itu yang menuai banyak pujian tersebut, justru menunjukan sikap Indonesia yang tak memiliki kepercayaan diri. Presiden seperti sedang menyiratkan kecemasan akut atas situasi ekonomi global.
“Meskipun pemerintah sempat menampilkan drama rupiah baik- baik saja, tapi drama tersebut terpaksa dihentikan, karena nyatanya rupiah semakin terdepresiasi,” ujar Heri.
Politisi Partai Gerindra ini memandang, sebetulnya Indonesia dapat menjadikan forum itu untuk mendorong agenda reformasi peran IMF dan WB yang semakin tidak relevan di era baru ini. Selain itu, bisa pula mendorong agar emerging markets diberikan porsi yang lebih luas dan strategis dalam organisasi IMF dan WB. (*)