Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pekan ini media diramaikan dengan OTT (operasi tangkap tangan) beberapa oknum ASN (Aparatur Sipil Negara) dengan pihak swasta terkait pembangunan proyek Meikarta.
Tercatat sudah sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dipastikan akan menjadi terdakwa.
Keberhasilan KPK melakukan OTT ini mendapat dukungan dan apresiasi dari berbagai kalangan di masyarakat dan sekaligus menunjukkan kinerja KPK sangat luar biasa dan independen.
Namun di sisi lain, kejadian OTT ini harus menjadi bahan koreksi mendasar bagi bangsa ini.
"Sebab, dari satu OTT kasus tertentu ke OTT kasus lainnya, selain menunjukkan bahwa OTT belum bisa membuat efek jera bagi perilaku koruptif lainnya di negeri ini, sekaligus membuktikan tampaknya bahwa OTT belum mampu mengurangi apalagi meniadakan perilaku koruptif di Indonesia," ujar pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing, berdasarkan keterangan tertulis, Minggu (21/10/2018).
Menurut Emrus hal mendasar yang menyebabkan maraknya tindakan OTT oleh KPK terletak pada pelayanan publik oleh ASN itu sendiri.
"Jadi, pada manusianya, pegawai negeri itu sendiri," ujar Emrus.
Ketika masyarakat berurusan dengan pelayanan publik di instasi pemerintah, acapkali terjadi oknum ASN berperilaku seperti “tuan”.
"Saya sebut seperti “tuan baginda raja” yang “disembah” dengan bawaan “upeti”. Sangat menyedihkan. Mereka ini berperan sebagai pemilik instasi pemerintah, di mana mereka bekerja," ucap Emrus.
Hal itu dapat dilihat dengan memperhatikan gaya komunikasi oknum ASN dalam melayani publik.
Seperti penggunaan bahasa tubuh, cara memandang, gaya berdiri, tekanan suara, respon yang berbelit-belit dan sebagainya.
Semua itu memposisikan ASN sebagai lebih dominan dalam menentukan proses komunikasi pelayanan. Inilah yang mendorong terjadinya penyimpangan dalam pelayanan publik di Indoensia.
Tampaknya yang ASN lupakan bahwa pemilik yang sesungguhnya semua instansi pemerintah adalah semua rakyat Indonesia, dan terutama publik yang berurusan dengan lembaga tersebut. Bukan ASN yang bertugas di instasi tersebut menjadi pemilik.
"Birokrat ASN itu hanya melayani dan memberi solusi ketika rakyat mengalami berbagai persoalan pelayanan publik. Sangat tidak boleh ASN menjadi bagian dari masalah pelayanan publik," ujar Emrus.
Oleh karena itu, peristiwa OTT oknum terkait dengan pembangunan Meikarta, harus menjadi pintu masuk bagi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) melakukan revolusi mental.
Serta mendasari sistem pelayanan publik di seluruh instasi pemerintah di tanah air harus dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif.
Untuk itu, Emrus menyarankan kepada MenPanRB agar melakukan kajian kepada satu atau dua unit terdepan pelayanan publik dari suatu kementerian yang langsung berhadapan dengan pelayanan publik.
"Bukan seperti “tuan kecil” yang harus dilayani sebagaimana yang diperankan oleh seorang bupati yang saat ini bermasalah di KPK," ucap Emrus.