TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna mengambil contoh pemilu Amerika Serikat dalam pertimbangannya menolak gugatan Effendi Ghazali.
Palguna menjelaskan bahwa "pemilihan presiden secara langsung" bisa diimplementasikan berbeda sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara, meski secara doktrin sama, yakni menganut sistem presidensial.
Seperti halnya di Amerika Serikat yang tetap melakukan "pemilihan secara langsung" dengan mekanisme electoral collage.
Dengan mekanisme tersebut, kerap terjadi bahwa pasangan calon, yang didukung mayoritas elektoral, belum tentu secara populer meraih suara terbanyak.
"Ketidaksamaan praktik penerapan sistem presidensial demikian adalah wajar karena sistem ini dapat diterapkan atau diadopsi baik dari negara serikat maupun kesatuan," urai dia saat sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/10/2018).
Baca: Nasdem Terancam Tak Lolos PT, Surya Paloh: Kita Tetap Fokus Pemenangan Pileg dan Pilpres
Hal tersebut sebagai tanggapan dari Mahkamah atas pendapat pemohon yang pada pokoknya menjelaskan bahwa dalam sistem presidensial, seyogyanya pemilu presiden dilakukan terlebih dahulu, kemudian pemilu parlemen seperti halnya di Perancis.
"Atau setidaknya dilaksanakan secara serentak seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat," jelas Effendi dalam permohonannya.
Sebelumnya, hakim konstitusi menolak seluruh gugatan mengenai ambang batas pencalonan presiden dalam Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, termasuk gugatan Effendi Ghazali yang berperkara dalam gugatan nomor 54/PUU-XIV/2018.