TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eksekusi mati Tuti Tursilawati, tenaga kerja wanita (TKW) asal Majalengka, Jawa Barat, oleh pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan atau notifikasi terlebih dahulu kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) menuai protes berbagai pihak.
Tuti Tursilawati sebelumnya telah menjalani proses hukuman yang cukup lama, yakni sekitar tujuh tahun. Ia didakwa atas kasus pembunuhan kepada majikannya di tahun 2010.
Sebelumnya, Tuti Tursilawati sudah divonis hukuman mati pada Juni 2011. Dalam beberapa sumber pemberitaan media, Tuti terpaksa melakukan pembunuhan itu karena kerap mendapat pelecehan seksual dari majikannya.
Farouk Abdullah Alwyni, Ketua Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia melayangkan protes keras terhadap otoritas di Arab Saudi, karena sikapnya yang tidak melihat Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang devisa negara (ke Arab Saydi) dari haji dan umrah.
“Tapi protes saja tidak cukup, petugas KBRI atau KJRI Jeddah harus lebih berani dalam menghadapi pihak Arab Saudi terkait perlindungan TKI di sana, karena eksekusi mati tanpa notifikasi bukan kali ini saja,” katanya di Jakarta, kemarin.
Menurut Farouk yang sempat mukim di Arab Saudi, ada kesan pihak Arab Saudi meremehkan petugas Indonesia di sana terkait persoalan WNI. Berbeda jauh perlakuannya terhadap warga dari negara-negara Eropa atau Amreika yang teribat kasus hukum, pihak otoritas Arab Saudi bertindak hati-hati.
Baca: Arab Saudi Dinilai Langgar Hukum Internasional Soal Eksekusi Mati Tuti Tursilawati
“Saya mengimbau petugas KBRI atau KJRI lebih ‘fight’ lagi, ‘all out’ dalam membela dan melindungi WNI di Arab Saudi. Kalau perlu tarik semua staf agar Indonesia tidak diremehkan,” ujar Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) ini.
Farouk menilai, kasus eksekusi mati Tuti tanpa notifikasi ini menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi diplomasi luar negeri yang ada sekarang ini agar bisa lebih aktif dan berani mengenai proses hukum terhadap WNI.
Ikhwalnya, dalam kasus hukuman mati sering terjadi cara-cara ‘unfair trial’, sehingga harus ada pendampingan maksimal dari negara agar eksekusi mati dapat dicegah dari awal penanganan perkara.
Juga berkaca dari dugaan pembunuhan berencana wartawan asal Saudi, Jamal Khashoggi di Turki yang memberikan sinyalemen betapa brutalnya perlakuan pihak tertentu di Arab Saudi terhadap hak azasi seseorang.
Dalam kasus Tuti, otoritas Arab Saudi dianggap melanggar Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum yang dapat melindungi pekerja migran.
Atas dasar itu, alumnus New York University (MA) dan University of Birmingham (MBA) ini menyarankan agar pemerintahan Presiden Jokowi Widodo mempertimbangkan aksi aksi yang jauh lebih tegas jika Arab Saudi terus mengabaikan permintaan Indonesia untuk memberikan notifikasi jika akan dilakukan hukuman mati terhadap WNI.
Artinya, memberikan “pressure” yang lebih kuat lagi sebagai bentuk protes bangsa Indonesia.